Tendang, Terjang, Hadang

Minggu, 13 Februari 2011

Kesadaran Kolektif Tragedi ’65/’66; Telaah Tiga Jaman *


Oleh; Dedik Priyanto

“Sejarah adalah serangkain dongeng yang telah disepakati, tutur Voltaire.”

Kata-kata memang kerap tidak bisa merefleksikan realita. Tapi, acap menjadi bukti eksistensi dalam sejarah yang meletupkan pemikiran dan logika akan kebenaran, bukan pembenaran yang kadang terkodifikasi penguasa dalam melegalkan kekuasannya, yang menurut Voltaire di atas, adalah dongeng yang terterima sebagai sebuah persetujuan bersama (acceptable).

Begitu pula dengan sejarah paling kelam yang pernah dilalui bangsa ini pada rentang 1965-1965. Peristiwa yang diawali lelaku—yang menurut Orde Baru—adalah pemberontakan terhadap konstitusi. Dan dinisiasi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan penculikan secara brutal para jenderal. Yang secara garis politik, bersebarangan dengan mereka; G30/S PKI. Pun agitasi dan propraganda yang dilancarkan sebagai representasi carut marutnya perpolitikan nasional di masa itu. Khususnya pada tiga aliansi besar, PNI yang Nasionalis-Soekarnois, PKI yang menyuarakan komunisme dan kerakyatan, serta kaum agamawan yang dalam hal ini diwakili tiga ormas berpengaruh; NU, Muhammadiyah dan Masyumi

Nah, di situ penulis kira sungguh sangat kontraproduktif dengan realita, ibarat koin dengan dua sisi mata uang yang tidak pernah bertemu. Pertama, Ketika menengok perkembangan PKI sebagai sebuah gerakan kaderisasi dan politik, terbukti mampu memikat rakyat jelata dengan janji utopis ihwal luruhnya kelas sosial dan borjuisme yang berkongsi dengan kapitalisme itu di segala segi kehidupan mereka. Komunisme disinyalir paling relevan dalam memproteksi rakyat. Menjadi benteng dari imperialisme yang coba membangun kekuatannya kembali di dunia ketiga.

Kedua, PKI sebagai sistem ideologis, kerap dijadikan alasan tidak diterimanya mereka di lingkungan agama. Tuduhan sebagai “atheis” menyeruak ke permukaan, serta diikuti penistaan akan eksistensinya dalam sistem demokratisasi, yang pada konsepnya sangat menjunjung kebebesan memilih. Hingga dalih keagamaan pun dilegitimasi untuk melenggangkan “pembenaran” atas segala hal yang berbau pelarangan komunisme. Nah, pertanyaan menggelitiknya adalah, apakah Komunisme bersebarangan dengan agama, dalam konteks ini islam sebagai mayoritas?

Pada titik ini, penulis risau dengan pertanyaan yang kerap terlontar di beberapa forum diskusi yang pernah diikuti. Jika komunisme bersebarangan dengan islam? maka kenapa justru diterima oleh banyak rakyat—waktu itu—terus apakah prinsip egalitarian, persamaan hak, pembebasan kelas seperti yang digemborkan tidak ada dalam islam?

Di sini, ada hal yang cukup menggelitik. Pelbagai data disajikan dengan beragam tafsir. Khususnya ihwal korban yang jatuh pada peristiwa berdarah itu. Fakta mencengangkan mengemuka, bahkan lebih besar daripada data yang dikeluarkan pemerintah. Pembunuhan masal yang dilakukan Orde Soeharto terjadi selepas peristiwa G30/S itu, khususnya di kantong-kantong PKI. Di jawa misalnya, laporan dari Robert Crib (1990) ada 800 ribu jiwa lebih lenyap. Belum lagi 100 ribu orang lebih yang tewas di Bali. Hal ini kontras dengan data pemerintah yang hanya 78.500 jiwa. Belum lagi itu yang hilang tanpa data yang jelas. Bisa dibayangkan berapa jumlah korban? Dan itu ditutupi oleh penguasa sebagai pemangku kebijakan.

Telaah Tiga Jaman

Sebagai seorang yang hidup di jaman kekinian, penulis mungkin tidak mengalami langsung apa yang oleh sejarah sering disebut “pembasmian” umat manusia atas manusia yang lain itu. Namun, melihat rentang waktu peristiwa mengenaskan itu, dengan realitas makna kesadaran akan sejarah itu, agaknya ada tiga representasi, yang barangkali bisa mewakili apa yang penulis sebut sebagai telaah tiga jaman. Kita bisa mendebat ihwal ini, tapi berdasarkan pemikiran penulis, hal ini cukup penting untuk bisa memetakan sejarah dan realitas manusia sebagai subjek dibawah otoritas pemerintah yang ada dilingkup dia hadir.

.Pertama, kemerdekaan sampai revolusi ’66 dan sesudahnya. Ini adalah rentang sejarah yang mewartakan subjek sebagai pemeganng dalam carutan politik. Nah, penulis mendapati data-data yang cukup membuat nalar logika tergeragap. Apa pasal?
Seperti yang penulis wartakan di atas, ada peristiwa kemanusiaan yang cukup memprihatinkan. Khususnya pasca lengsernya kekusaan Soekarno, dan dimulailah tirani kepemimpinan Soeharto. Pada titik ini, tragedi ‘65 terjadi. hingga pembantaian masal atas nama pembersihan konstitusi terjadi di seluruh Indonesa. Bahkan dianggap sebagai peristiwa terbesar dalam hal kemanusiaan dan HAM setelah Holocoust nya NAZI maupun Khmer Merah di Kamboja.

Generasi terluka, begitulah penulis istilahkan. Karena eks-PKI pada realitasnya selalu dimusuhi, bahkan terpinggirkan, serta tidak mendapatkan haknya sebagai warga negara. Pun banyak yang terpenjara tanpa tuduhan yang jelas, seperti yang dialami Pramoedya Ananta Toer dan lain sebagainya. Kalau toh mereka bebas, masih tidak mendapatkan tempat di masyarakat, karena pelabelan yang dilakukan pemerintah sudah terlanjur masuk pada alam bawah sadar kolektif, dan menjadi cerita turun menurun di masyarakat. Bahkan diskriminasi itu juga dialami oleh keluarga dan keturunan eks PKI. Seperti mewarisi dosa sejarah yang terus terkodifikasi.

Kedua, fase kedua, awal ’70-an hingga media ’80-an. Alih-alih ingin menjadikan realitas diskursif menjadi tonggak sejarah, tapi pada masa ini pemuda seakan dibutakan oleh kebenaran. Tafsir monolitik atas wacana sejarah menjadi bukti paling sahih pada buku-buku sekolah. Komunisme pun dilarang dalam segala ranah di masyarakat Indonesia. Semua yang berbau PKI dan gerakan-gerakan kiri tidak bisa berkembang secara masif seperti pada awal masuk.

Hal ini sangat problematik, mengingat sejarah adalah sesuatu yang netral. Tanpa ada pretensi apapun dalam menyibak kebenaran. Pada masa Soeharto, objektivitas sejarah inilah yang tidak ada dalam masa ini. Buntutnya, sivitas yang ada tidak melek sejarah. Walaupun ada, itupun hanya pada cakupan underground di kampus-kampus, itu pun sangat sedikit.

Ketiga, fase ketiga, akhir ‘80-an sampai sekarang. Pada masa inilah kita berada, dan teringat penulis masih kecil sering ditakuti-takuti dengan istilah “PKI”. Laiknya monster yang harus dijauhi dan ditakuti. Begitu pula dengan “wajibnya” menonton film propragadis G 30/S yang disutradarai Arifin C. Noer (1984) semakin menambah ketakutan penulis akan “Komunisme dan PKI. Namun, pergumulan penulis dalam iklim kebebasan seperti sekarang, membuat penulis beralih pandang dan paradigma tentang kedua term tadi.

Kesadaran Kolektif

Jika sejarah adalah sebuah bentuk kesepakatan, seperti kata Voltaire. Maka tidakkah kita berpikir untuk melakukan kodifikasi sejarah berdasarkan kesadaran bersama dalam bingkai sila pertama pancasila, yakni kepercayaan akan Tuhan yang Esa. Mengapa? Karena dengan nasionalisme religius yang sering digemborkan sebagai representasi keberagamaan Indonesa, maka tak ayal, kesepakatan bersama harus diketengahkan di kalangan sivitas muda. Jika tidak, maka siapa lagi yang harus memikirkan sejarah.

Maka sejarah tidak hanya serupa titik dalam melangkah ke depan, tapi juga cermin untuk memahami realita dengan objektif. Penulis berpikir bahwa kesadaran kolektif dari pemuda harus segera terejewantahkan. Tidak hanya pada tataran wacana akademis, tapi harus pada realitas prakis dengan mengedepankan rasionalisasi dan pendekatan ide-ide tentan kebenaran historis itu.

Pada tiap agama-agama pasti diajarkan saling memafkan, dan untuk itulah kesadaran kolektif dan silang maaf ini menjadi penting daalam rekonstruksi sejarah. Untuk itulah pemahaman menyeluruh (Verstehen) akan sejarah perlu dikedepankan, dan itu telah dimulai oleh Gus Dur dengan mencabut TAP MPRS no. XXV/1966, pun dengan kata maaf yang beliau ucapkan kepada eks maupun keturunan yang menjadi korban Orba. Dan hal itu, bisa dengan kesadaran kolektif pemuda akan sejarah. Namun, lagi-lagi hal ini masih banyak yang tidak setuju dengan proyek rekonsiliatif pemuda itu. seperti tutur sejarawan Asvi Warman Adam dalam wawancaranya dengan Jurnal Taswhirul Afkar (2003) bahwa masih ada banyak kaum yang tidak setuju. Padahal sudah sudah jelas, sejarah kita sudah dibengkokan.


Catatan
Jurnal Taswhirul Afkar; Jurnal Pemikiran Kegamaan yang diterbitkan Lakpesdam NU.

*Esai ini pernah diikutkan dalam lomba esai tentang PKI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar