Tendang, Terjang, Hadang

Rabu, 19 Januari 2011

Membincang Arabisme Islam Indonesia


Oleh : Dedik Priyanto
Judul : Deradikalisasi Islam: Paradigma dan Strategi Islam Kultural
Penulis : Syaiful Arif
Penerbit : Koekoesan, Depok
Tahun : I, Juni 2010
Tebal : vii +151 hlm

Acapkali perdebatan terjadi kala membincang keterniscayaan sejarah yang kerap tidak berjalan linear. Begitu pula dengan agama. Ia yang lahir dari pergolakan, serta pencarian panjang manusia akan Tuhan, seolah menjadi indikator spiritualitas yang terkadang jatuh pada taraf radikalisme. Hal ini berbahaya, jika menengok pluralitas keberagaman yang ada di Indonesia.

Ditinjau dari sejarahnya, setiap agama yang datang ke nusantara selalu mengalami akulturasi dengan budaya setempat. Tak terkecuali islam yang datang belakangan setelah Hindu dan Budha, serta agama-agama lokal yang telah lama mendiami. Percampuran dialogis semacam ini tentunya mengalami proses yang sangat panjang, serta pemahaman akan makna kebudayaan.

Dari proses ini, akhirnya islam di Indonesia mempunyai corak yang sangat khas dan berbeda dengan keberislaman di negara lain, serta membuat kebudayaan islam mengalami pergeseran dari aslinya. Hingga mencipta kebudayaan baru: islam Indonesia. Namun, akhir-akhir ini pakem keislaman itu berubah wajah menjadi angker dan menakutkan di bawah payung radikalisme yang nampak subur di tanah air.

Melalui buku ini, Syaiful Arif, mencoba menguak perubahan lelaku paradigma keberagamaan islam Indonesia yang inklusif dan toleran menjadi ekslusif, serta cenderung intoleran terhadap yang lain. Paling tidak ada tiga hal penting yang diketengahkan peneliti yang juga santri di Pesantren Ciganjur ini dalam elaborasi teoritis gerakan islam di tanah air.

Pertama, Islamisme Indonesia. Pada taraf tertentu, para radikalis ini mencoba mengislamkan negara yang—konon—dianggap belum islam. Tentu yang demikian sangat bertolak belakang jika meninjau sejarah islamisasi nusantara, serta keniscayaan bahwa bangsa ini tidak hanya didominasi satu agama. Hadirnya pancasila sebagi paradigma berpikir menjadi bukti koordinasi agama-agama yang mampu berjalan beriringan dalam bingkai nasionalisme .

Kedua, Pribumisasi Islam. Tesis ini pertama kali diwartakan oleh Abdurahman Wahid (Gus Dur) medio 80-an. Menurut beliau, pribumisasi telah mengakar dalam keberagamaan masyarakat Indonesia. Konsep ini kerap salah dipahami oleh banyak orang, yang sering mengidentikannya dengan sinkretisasi agama-agama. Padahal hal ini sangat berbeda.

Pribumisasi islam yang dimaksudkan adalah akulturasi islam dengan kearifan lokal yang membudaya di tiap daerah. Pada banyak kasus, pribumisasi ini sudah menjadi ciri keindonesiaan. Masjid di Kudus misalnya, yang mengadopsi gaya bangunan ala hindu, adalah contoh sahih akulturasi budaya. Pun kehidupan masyarakatnya yang plural dan toleransimerupakan bukti ihwal pribumisasi islam yang mampu mengokomodasi khazanah dan kearifan lokal.

Ketiga, Pendidikan Kultural. Pola ini diharap akan menjadi filter bagi radikalisme. Arif, menuturkan bahwa pada dasarnya, pesantren, merupakan wadah terpenting dalam menangkal virus kekerasan tersebut. Peran kependidikan islam ini menjadi vital mengingat semakin menjamurnya pola rekruitmen para radikalis yang kebanyakan merupakan orang dengan tradisi keberislaman yang minim. Bahkan cenderung memanfaatkan janji-janji teologis demi tujuannya.

Membaca buku ini, kita seolah dihantarkan untuk memahami kebudayaan dalam bingkai islam Indonesia yang khas, serta lanskap keislaman dan keindonesiaan yang kerap diperdebatkan mampu diterjemahkan dengan cukup elaboratif oleh penulis. Namun, di sisi lain, belum mampu memetakan gerakan-gerakan islam di Indonesia dengan pelbagi reniknya yang khas. Terlepas dari itu, paling tidak, islam Indonesia yang diketengahkan, mampu sebagai penangkal radikalisme yang tengah menjamur.

*Sekretaris Forum Studi Sosial dan Keagamaan Piramida Circle Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar