Tendang, Terjang, Hadang

Selasa, 18 Januari 2011

Bapak Republik yang Hilang *


Judul : Tan Malaka, Bapak Republik yang Dilupakan
Penulis : Prof. Dr. Asvi Warman Adam dkk.
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Jakarta
Tahun : I, September 2010
Tebal : xix+185 hal

Sejarah memang acap tidak berjalan linear. Ia kerap dijadikan mangsa bagi pemangku kebijakan untuk melegalkan kekuasaannya. Hal ini menimbulkan sejarah tidak lagi bersifat netral, tapi tercipta karena ulah kodifikasi yang tidak memihak. Bahkan cenderung ahistoris, serta reduksionis atas pelbagai tafsiran wacana sebagai buah objektivitas dalam menengok realitas sejarah.

Relasi sengkarut antara pemerintah dengan korporat, yang dibingkai dalam kejahatan intelektual ihwal pembelokkan sejarah inilah yang membuat Datuk Ibrahim Tan Malaka menjadi sosok “yang terbuang” dalam peta revolusi historisme perjuangan Indonesia. Agaknya, hal demikian menjadi sangat penting untuk diketengahkan mengingat sangat pentingnya peranan beliau dalam revolusi.

Buku bertajuk “Tan Malaka, Bapak Republik yang dilupakan” hadir di tengah mulai menipisnya kesadaran akan pentingnya sejarah dalam lelaku berbangsa dan bernegara, yang mulai rapuh kala dihimpit ideologisasi kapitalisme yang kian menggerogoti.

Sisik melik dalam perjalanan hidup pejuang asal lembah Suliki ini, serta pelbagai hentakan beliau dalam meretaskan arah revolusi ini seolah ingin menjadi catatan sebagai upaya revitalisasi sejarah dalam peta keindonesiaan. Ada tiga spektrum eskalasi pemikiran yang tersirat dalam antologi tulisan para peneliti dan sejarawan terkemuka ini, yang mencoba mewartakan lelaku hidup Bung Tan, begitu ia biasa disapa, yang penuh liku. Pertama, Kemerdekaan dan refilosofi perjuangan.

Ignas Kleden menyebutnya sebagai nasionalisme seorang marxis. Yang dalam otaknya ide-ide leninisme-stalinisme telah terburai dan membaur dalam nasionalisme kebangsaan yang terejewantah dalam budaya nusantara menuju kemerdekaan seratus persen. Tanpa tedeng aling-aling dalam perjuangan, maupun kompromistis dengan kolonialisme guna melegalkan kekuasaan. Bahkan ia sangat keras mengkritik komunisme. Itulah mengapa, ia bersilang pendapat dengan kompatriotnya sesama Minangkabau, Sjahrir dan Hatta, dalam memandan aras filosofis perjuangan.

Ia mengkritik Sjahrir yang terlalu diplomatis, bahkan cenderung kompromistis dengan pihak kolonialis. Dan meruncing kala Sjahrir menjadi perdana menteri pada era Soekarno, yang mengubah sistem negara dari presidensial ke parlementer. Begitu pula dengan Hatta, silang sengkarut itu terjadi karena Hatta merasa diremehkan, dan dianggap ingusan dalam hal pergerakan dan revolusi. yang sebenarnya sudah dimulai kala masih di Amsterdam. Tepatnya pada saat gagalnya pemberontakan Partai Komunis Indonesia pada tahun 1927.

Bapak proklamator itu meminta kepada para tokoh pergerakan kiri, maupun yang beraliran komunis menyerahkan estafet revolusi itu kepada kaum nasionalis guna merebut kemerdekaan. Semaun yang kala itu sebagai ketua PKI langsung menekan kontrak. Namun, Tan Malaka tidak. Fakta menarik pun tersaji, kala testamen Bung Karno ihwal kepemimpinan revolusi sepeninggal beliau akan diberikan kepada Tan Malaka, ditambahlah dengan pencatuman tiga nama lain oleh Hatta. Yakni Iwa Kusuma Soemantri, Sjahrir, dan Koesomanegoro.(hal 117)

Perbedaan tiga tokoh ini menurut Harry A. Poeze, sejarawan Belanda, terjadi karena perbedaan historitas antar ketiganya. Meski sama-sama belajar marxis, dan dari suku Minang. Tan lebih hidup lebih proletariat dari Hatta dan Sjahrir. Pun dibuang, mereka relatif masih bisa bergerak cukup bebas. Sedangkan beliau harus berkeliling di hampir seluruh dunia, dan menggunakan pelbagai nama samaran akibat pengejaran pihak kolonial yang gerah dengan pemikirannya selama hampir 20 tahun.

Kedua, karya yang ditulis. Tidak bisa dipungkiri. Tan Malaka adalah satu-satunya pemikir paling produktif dengan puluhan karya yang menginspirasi banyak pejuang pada masanya. Ia yang pertama kali menggagas kemerdekaan sebelum orang lain mendengungkannya. Lewat bukunya naar de republiek (1925) ia mengilhami banyak pejuang untuk mewartakan kemerdekaan. Bahkan Bung Karno, seperti dikutip Sayuti Melik, selalu membawanya. Pun lagu Indonesia raya yang dicipta WR Soepratman konon terinspirasi juga dari beliau.

Tidak hanya itu, banyak buku yang ia tulis sebagai manifestasi pemikirannya tentang Indonesia. Dari sekian banyaknya itu, Massa Aksi dan Madilog paling sering disebut. Yang terakhir sering dikatakan sebagai magnum opusnya. Karena berisi tentang serpihan ide-ide pemikirannya yang terejewantah dalam tiga kata, Materialisme, Dialektika dan Logika. Yang menjadi embrio dalam pijar pergerakan para aktivis revolusi.

Ketiga, Kematiannya yang misterius. Inilah agaknya yang membedakan Tan Malaka dengan para pejuang revolusi lainnya. Ia yang mampu menguasai beberapa bahasa dunia itu seakan menjadi bukti paling absah bagaimana represi pemerintah begitu kentara kepada lawan politiknya. Dan itu, tidak hanya terjadi pada masa sekarang. Saat bangsa ini mulai merangkak dengan bingkai nasionalisme yang kian terperikan.

Fakta historis mengemuka dengan pelbagai teori dengan perspektif yang beragam. Adam Malik menuturkan dalam bukunya Mengabdi Republik Jilid II bahwa tewasnya Tan Malaka disebabkan “ditembak tangan-tangan kotor yang tak bertanggung jawab” pada 16 April 1949 di Kediri. Lain halnya dengan Sayuti Melik. Pengetik teks proklamasi itu mewartakan bahwa kematian pria yang selama hidupnya tidak pernah menikah itu dilakukan oleh pesindo (PKI). Apa pasal? Menurutnya, karena mereka tidak menginginkan Tan Malaka menggantikan Bung Karno sebagai presiden. (hal.129)

Hal ini secara logika sejarah memang bisa dibenarkan. Khususnya testamen Bung Karno ihwal kepemimpinan revolusi. Pun karena Tan Malaka adalah orang yang sangat keras mengkritik gerakan PKI yang menurutnya kehilangan ranah filosofis perjuangan. Dan hanya berorientasi kekuasaan.Yang paling menarik, tentu adalah tesis yang diutarakan Harry A. Poeze.

Peneliti yang menghabiskan setengah hidupnya guna mempelajari Tan Malaka ini mengemukakan tewasnya ini ditangan TNI di bawah asuhan Kolonel Soengkono, di desa Selopanggung, Kediri, pada 21 Februari 1949. Sungguh tragis? Beliau yang sepanjang hidupnya memperjuangkan tanah air, harus meninggal di tangan republik yang diperjuangkannya. Temuan ini menjadi menarik lantaran Poeze sangat yakin di tempat itulah Tan Malaka luruh ke bumi pertiwi.

Pengecekan DNA pun dilakukan, tapi sampai sekarang masih belum pasti kebenarannya. Hingga membuatnya tetap menjadi sosok yang misterius, bahkan sampai kematiannya pun demikian. Lewat buku investigatif ini, kita diingatkan untuk selalu melihat secara objektif realita sejarah yang kadang reduksionis. Seperti Tan Malaka, begitulah seorang pejuang sejati, walau raganya sudah tiada, ia masih ada sampai sekarang lewat karya dan pemikirannya. Biarkan sejarah mengatakan kebenarannya sendiri.

Peresensi adalah Dedik Priyanto, Pustakawan Piramida Circle Jakarta, Sekretaris In Memoriam Tan Malaka 2010.
*tulisan ini saya persembahkan buat kawan saya, Abi Setyo Nugroho, senyumnya sumringah tatkala DNA Tan Malaka yang ia selidiki tempo hari, sudah mulai mengemuka buktinya.
bisa diakses ihwal beritanya;
http://www.detiknews.com/read/2011/01/12/145528/1544989/10/lokasi-makam-tan-malaka-positif-ada-di-kediri

sekali lagi, selamat bung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar