Tendang, Terjang, Hadang

Rabu, 19 Januari 2011

Menyibak Sisi Lain Industrialisasi



Oleh: Dedik Priyanto*

Judul : Bencana Industri: Relasi Negara, Perusahaan dan Masyarakat Sipil
Penulis : Bosman Batubara dkk.
Penerbit : Desantara Foundation
Tahun : I, Agustus 2010
Tebal : xx+ 236 hal.

Menjamurnya industrialisasi di suatu negara kerap dijadikan corong pemetaan tingkat kesejahteraan penduduknya. Apalagi jika mampu meningkatkan taraf hidup, serta tersedianya lapangan kerja yang melimpah. Terlepas dari itu, ternyata, industri juga menyebabkan hal-hal negatif yang merugikan. Bahkan cenderung musibah bagi kemanusiaan.

Pelbagai fakta menarik tersaji. Pun penelitian ihwal dinamika industri banyak mengemuka, hingga membelalakan mata bahwa pada titik tertentu industri menyimpan realita yang cenderung melenceng dari tujuan aslinya; kesejahteraan manusia. Kasus Lapindo, misalnya, akan membuat sisi kemanusiaan tergerak. Semburan lumpur yang tiada habisnya seolah menyuguhkan narasi pilu tangisan rakyat yang tiada berkesudahan.

Derita masyarakat Porong inilah yang membuat Bosman Batubara dan Paring Waluyo Utomo mewartakan derap kisah yang cukup panjang tentang kegagalan proyek industrialisasi yang dibungkus praktik bisnis dalam musibah itu. Di situ, dipaparkanlah keculasan para korporat yang berfusi dengan kontraktor dan antek masyarakat dalam penanggulan lumpur, dan gagal. Hal ini menjadi penting karena semakin memperjelas relasi sengkarut antara warga, negara, dan perusahaan sebagai pemodal dalam lanskap industrialisasi.

Pelbagai realitas diskursif semacam itu yang dikuak beberapa peneliti dalam buku ini. Tercatat, ada beberapa hal fundamental yang patut diketengahkan. Pertama, industrialisasi dalam konteks global adalah fakta sejarah. Yang mau tidak mau demi kemajuan harus diberlakukan. Jika tidak, maka disparitas ekonomis dan perbedaan kelas akan semakin mencolok.

Apalagi dunia ketiga sebagai penghasil bahan kerap dijadikan tumbal regulasi global. Alih-alih mereka menjadi subjek. Namun, justru dijadikan sumber pengerukan masal bahan mentah. Setelah itu, baru limbahnya dilimpahkan ke negara asal. Hal demikian membuat negara ketiga menjadi sangat rentan terhadap bencana. Namun, tiada mampu menolaknya dikarenakan ketergantungan yang berlebih kepada pemodal dunia sebagai pemangku kebijakan global.

Kedua, manusia sebagai aktor bencana (man made disaster). Dalam beberapa kasus, terjadinya musibah yang kerap melanda merupakan perilaku manusia. Rekam jejaknya pun sudah terbukti dengan semakin menipisnya resapan air, dan rentannya alam akibat eksploitasi SDA yang kian tak terelakkan. Hingga bencana datang sebagai konsekwensi logis tindakan itu.

Ketiga¸ fakta-fakta perebutan tafsir atas wacana atas daerah yang dianggap berpotensi. Sebagai contoh, pada kasus air di Pegunungan Kendeng Pati, misalnya, terdapat polemik di k alangan masyarakat dengan pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Sedang para korporat negara dikontrol para investor yang akan membuat pabrik di lereng gunung. (Hal. 117)

Sontak, hal ini membuat berang rakyat Pati. Khususnya warga Samin yang mendiami kawasan tersebut. Mereka yang mempunyai kewajiban sebagai penjaga stabilitas alam merasa terusik. Apalagi jika pabrik itu berhasil berdiri, dikhawatirkan proyek industrialisasi itu akan menambah kecemasan semakin menipisnya jumlah kadar air di kawasan tersebut. Karena bagi mereka, air tidak hanya komoditas hidup. Melainkan aset alam yang harus dijaga kelestariannya.

Dialog pun dilakukan, berbagai penelitian pun digelar guna mengetahui efek pembangunan pabrik jika diteruskan. Hasilnya, para ahli banyak yang mendukung masyarakat karena tahu akan efek negatifnya jika proyek itu terus berlangsung. Hal serupa juga terjadi di Bulukumba, Sulawesi Selatan, dimana terjadi konstestasi perebutan hak antara pemerintah dan masyarakat adat yang ingin mempertahankan hutan yang terus dikeruk oleh industri.

Lagi-lagi yang dikalahkan adalah rakyat kecil. Karena kekuatan investor yang begitu kuat dalam merepresi pemerintah, dan ditakutkan Bencana Porong itu akan terjadi di daerah mereka. Maka, lewat buku ini, kita seolah diajak berpikir sejenak dan kontemplatif dalam melerai bencana yang datang tiba-tiba, juga kritis kala bersentuhan dengannya. Pun filterisasi industri yang tidak hanya keuntungan ekonomis bagi penggeraknya, tapi yang lebih penting adalah cakupan keamanan, serta tidak menghilangnya sisi kemanusiaan para industrialis.

*Warga Bojonegoro. tinggal di Jakarta. semoga buku ini bisa membuka kritisisme warga bojonegoro, dan lainnya ihwal bencana industri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar