Tendang, Terjang, Hadang

Selasa, 11 Januari 2011

Ketika Tertimpa Amanat Kata


Rentang 2010 kamaren barangkali adalah tahun yang menjemukan bagi saya. Banyak hal yang sudah terpikir akhirnya luruh karena banyak ketidakmapanan. Itu pula yang mengakibatkan saya sempat berpikir berhenti dengan aktivitas menulis. Dan lebih memfokuskan pada dua kata idealis; membaca dan berdiskusi. Sedikit meniadakan menulis serius, serta coba dipublikasikan di media baik nasional maupun media alternatif underground tataran kampus.

Agaknya yang demikian itu menjadikan saya seperti orang yang terasing. Sendiri di atas tumpukan kegembiraan banyak orang di tahun 2010 akhir. Tepat 4 bulan saya bersitegang dengan pemikiran saya sendiri, bertarung dengan pelbagai ide yang merasuki tiap sendi, serta berkelebat pada atap-atap dinding kamar yang dipenuhi dengan beragam relief ulah teman-teman satu kontrakan. Mulai dari baju yang menumpuk belum dicuci, buku yang dibiarkan terbuka setelah dibaca, atau tentang puntung rokok yang tiada tahu siapa yang meletakkannya di situ. Bahkan yang paling destruktif—dalam bahasa saya—adalah bau yang agak wangi dari celana yang siap untuk dicuci tapi barangkali lupa atawa sengaja tidak jadi dibersihkan.

Saya akan kembali ke ruang-ruang itu. bahwa sudah cukuplah bagi saya untuk menjadi seorang pengangguran kamar yang kerjanya hanya nonton film dan membaca buku. Beberapa waktu itu saya seolah kehilanan kenikmatan untuk menulis. Entah apa yang terjadi. paling tidak sampai kalimat ini saya buat, gairah itu masih menggelayuti. Bahkan mungkin besok akan terus begitu. Namun, satu sisi yang menyenangkan pada rentang itu adalah kemampuanku dalam mengusir baju dan pelbagai barang yang di lemari.

Betul. Mereka terusir. Tahukah, Kawan. Saya mampu untuk menjejali lemari itu dengan buku. Iya, buku. Targetku berhasil dengan memberi makan lemariku dengan buku-buku. Setelah saya rinci, ternyata yagn menduduki peringkat paling tinggi di lemari yang sudah full itu adalah buku pemikiran, di susul dengan sastra, esai dan beberapa kolom penulis ternama. Semisal Gus Dur, Mochtar Lubis, Soe Hok Gie dll, dan menduduki peringkat terakhir adalah psikologi.

“Bah, kau aneh kali, Kawan. Padahal itu jurusan kau. Tapi mengapa tidak awak temukan buku tentang diskursus ilmu tingkah laku-laku,” pekik teman saat ke kontrakan.

Maka, aku pun membongkar-bongkar, ternyata tidak. Buku psikologi masih mendiami peringkat ketiga. Karena setelah saya hitung tidak hanya satu, dua, bahkan tiga. Tapi ada banyak. Walau sampai saat ini saya masih mencari dua buku klasik tentang psikologi yang hilang, yakni bukunya Fuad Hassan—saya lupa judulnya—dan Prof. Malik Badri “Dilema Psikolog Muslim”, serta Kesehatan Mentalnya Prof. Zakiyah Drajat. Ketiganya, walau dianggap buku biasa. Paling tidak bisa memberi point, bahwa pendapat teman saya tadi telah gugur.

Di sebuah malam, kira-kira setelah nonton berita olahraga malam beberapa hari lalu. Sengaja saya berdiam dulu, saya merasa merapalkan doa-doa yang barangkali bisa sedikit meredakan kegundahan yang saya miliki, dan akhirnya bisa tidur. Tapi tetap saja lelap seakan enggan menemui. Entah apa yang diperbuatnya mala mini. Hingga tidak mampir di situ.

Lagi-lagi entah apa yang membisiki. Tiba-tiba saya mendapat hembusan, atau barangkali bisikan dari—juga saya tidak tahu—angin yang bertutur kira-kira begini,”Saya ingin melihat kau. Kau menulis lagi. Tidak hanya bagi dirimu. Tapi juga dibaca khalayak.”

Alih-alih saya ketakutan laiknya film-film horror yang dibuat para sineas komersil itu. malah saya terperanjat. Bangun dari tidur yang panjang. Bahwa saya harus nulis. Saya menunggu barangkali suara itu datang lagi. Tapi tidak pernah muncul kembali. Bahkan jangan-jangan saya berpikir itu adalah kata hati saya yang sudah lama diam. Karena memang juga saya sudah lama tidak berusaha mengajaknya bercengkerama seperti dulu.

Benar sekali. Nampaknya saya tertimpa amanat lagi sebagai manusia (yang) suka nulis. Bahwa jika sudah memproklamirkan sebagai penulis, makanya hanya satu kata; Tulis. begitulah. Saya akan menulis lagi. Apapun itu, yang sesuai dengan otak dan hati saya. Maafkan, kawan, jika saya sudah lama tidak mengajakmu bercengkerama lagi. Nanti kita akan berdiskusi lagi.

Untuk itu saya memasang lagi beberapa pigura di dinding kamar. Saya masuki dengan gambar beberapa buku yang sudah diterbitkan. Dan seoalah menjadi teman dari semakin berserakannya baju dan buku-buku yang ada di kamar. Pun seakan menjadi saksi bahwa saya telah tertimpa amanat dari kata. Yakni menuliskannya dan menyebarkannya pada khalayak.

Mari Menulis!
karena
Itulah amanah seorang penulis.


Suatu Pagi di Lembah Piramida Circle
Jakarta , 11 Januari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar