Tendang, Terjang, Hadang

Selasa, 18 Januari 2011

Ketika Mahfud MD Membaca Gus Dur



Judul : Gus Dur; Islam, Politik, dan Kebangsaan
Penulis : Mahfud MD
Penerbit : LKiS Jogjakarta
Tahun : I, 2010
Tebal : xii+268 hal.

Sudah jamak diketahui bahwa kedekatan Gus Dur dan Mahfud MD ibarat dua mata sisi yang saling berkaitan. Keduanya merupakan episentrum utama dalam meretaskan kebebasan dan penegakkan demokratisasi di Indonesia. Namun, mangkatnya Gus Dur setahun lalu, pada 30 Desember 2009, agaknya memberi kesan mendalam bagi pribadi yang juga menjadi penjaga gawang aras konstitusi ini.

Berawal dari sebuah permintaan “mendadak” yang dilayangkan tatkala Mahfud MD masih mengabdi sebagai guru besar Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta. Tak tanggung-tanggung, Gus Dur yang saat itu menjadi presiden terpilih menunjuknya menjadi Menteri Pertahanan (Menhan). Hal ini membuatnya terperanjat. Apalagi ketiadaan pengalaman dalam hal militer menjadi dalih. Pun latar belakang dirinya yang hanya seorang akademisi.

Ketika ditanyakakan ihwal itu kepada Gus Dur, beliau hanya berkelakar,”Saya sendiri tidak punya latar belakang menjadi presiden. Tapi bisa kok.” Di situ, penulis buku ini memberikan analisis berbeda. Dirinya yang notabene orang sipil diminta untuk merapikan militer, dan mengembalikannya pada posisi yang sebenarnya sebagai pengayom sipil. Termasuk juga mendemoralisasi militer dari hegemoni politik seperti yang dilakukan Orde Baru.

Kedekatan keduanya terlihat, misalnya, ketika menengok pelbagai pemikiran beliau yang acapkali dianggp nyeleneh. Ketika banyak orang mencibir tentang kegemaran bapak pluralisme itu berkeliling dunia, Mahfud menjelaskan bahwa hal itu memang yang dibutuhkan bangsa ini. Guna mencegah disintegrasi, dan semakin menguatnya separatisme kala itu. Tentunya hal demikian yang saat itu memang harus dilakukan untuk mempertahankan NKRI.

Ibarat teks, maka Gus Dur merupakan teks terbuka yang memungkinkan terjadinya anasir dan tafsiran yang beragam atas pelbagai spektrum pemikiran beliau yang memang sangat luas. Pada titik ini, Mahfud mencoba mendedahkan salah satu kegelisahannya atas sepak terjang lelaki yang terkenal dengan guyonannya itu, dalam bentuknya yang paling sederhana. Yakni, manusia biasa yang memiliki hobi silaturrahmi dan kecerdasan melihat situasi politik.

Silaturrahmi ini juga yang menjadi kekuatannya sebagai pemimpin. Hingga membuatnya dicintai oleh rakyat hingga ke kalangan akar rumput. Lain halnya ketika melihat para politisi saat ini, yang yang seakan enggan untuk sekedar saling menyapa. Bahkan ketika bersua harus diikuti dengan muatan politis yang menyelimuti tiap geraknya. Akibatnya, silaturahmi hanya menjadi lahan kontestasi politik. Bukan sebagai medium persaudaraan dan persahabatan.

Di level tata kelola pemerintahan, Gus Dur mampu mmendesakralisasi istana kepresidenan, serta menjadikannya istana rakyat. Apa pasal? Karena istana presiden yang harusnya menjadi tempat bagi rakyat untuk mengadu berbagai persoalan bangsa itu telah disalah tafsirkan oleh Orde Batu. Istana menjadi tempat yang angker, penuh formalitas, dan tidak bersahabat bagi rakyat jelata. Hingga sekedar mengadu pun mereka tidak berani.

Hal yang paling menggelitik barangkali adalah ketika tarjadi dualisme kepemimpinan di tubuh PKB antara Yenni Wahid dan Muhaimain Iskandar. Bagi Mahfud, silang sengkarut itu sebenarnya jatuh pada pertanyaan fundamental, siapa pemegang otoritas sebagai anak ideologis Gus Dur? Kedua-duanya menurutnya pantas dianggap pemegang titah penerus pemikiran beliau.

Di sisi yang lain, Yenni yang merupakan alumnus Havard University, agaknya lebih unggul. Karena tidak hanya sebagai anak ideologis Gus Dur. Tapi, lebih dari itu, perempuan yang juga aktivis HAM itu merupakan anak biologis yang tentunya mengikuti sejak kecil bagaimana ayahnya menerapkan pandangan ideologisnya di tengah masyarakat dan keluarga. Itu merupakan modal lebih untuk menjadi pemimpin di masa depan (hal 173).

Renik gagasan dan eskalasi pemikiran tentang sosok yang wujudnya kerap menjadi buronan para jurnalis karena sikapnya yang kontroversial itu, tertuang dalam buku “Gus Dur; Islam, Politik dan Kebangsaan” yang memercikkan memoar relasi beliau dengannya dalam empat dekade berbeda dalam kehidupannya. Yakni ketika menjadi Menteri Pertahanan, Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Anggota DPR RI, serta saat menjabat ketua Mahkamah Konstusi (MK).

Buku ini hadir dengan gaya bertutur yang santai, agak kelakar namun tetap kritis dan bernas dengan pelbagai muatan filosofisnya. Hingga seakan mampu menjadi manifestasi pertalian ideologis antara kedua negarawan ini. Pun menjadi simbol bahwa perjuangan menegakkan demokratisasi akan terus menyala walau sang guru bangsa telah pergi.

Peresensi adalah Dedik Priyanto, bergiat di Tadarus Kolom Gus Dur (TKG) the Wahid Institute. Saat ini dipercaya Sekretaris Lingkar Studi Piramida Circle Jakarta.
bisa jugga diakses;
http://www.wahidinstitute.org/Resensi/Detail/?id=61/hl=id/Ketika_Mahfud_MD_Membaca_Gus_Dur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar