Tendang, Terjang, Hadang

Selasa, 04 Desember 2012

Saya Meninggalkan November



Saya meninggalkan November dengan perasaan tak menentu, kalut, cemas dan sedikit muram. Ada jejak yang membuat saya seperti seorang anak kecil yang tiba-tiba saja menyaksikan jagoannya mati dikalahkan para monster dalam serial Power Rangers, atau seorang supporter yang tertipu tiket bodong dan membuatnya gagal masuk ke stadion.

Beruntung ada hujan yang terus datang tanpa pernah diundang sebelumnya, beruntung pula saya mendapatkan dekapan hangat jemari mungil seorang perempuan  pada sebuah malam. Saya memang beruntung. Keberuntungan memang tidak perlu dicari, namun percayalah tidak ada yang lebih beruntung selain meninggalkan November tanpa rutukan.

Harusnya saya bisa menikmati hujan pada bulan ini. Hujan yang tiap tetesnya menyimpan seribu puisi yang tidak bisa dimengerti. Apabila salah satu dari anda menemukan seseorang dengan pakaian lusuh, celana compang-camping, rambut yang tak terurus dan sedang berdiri tak jauh  dari dekat anda, maka sesekali anda harus menegurnya.

Takutnya jika lelaki itu tiba-tiba menyeberang jalanan dan seketika itu pula ada mobil yang menabrak, maka bisa dipastikan anda sebagai tertuduh karena berada di dekatnya.

Kalau toh tidak ditangkap kepolisian, maka saya bisa pastikan nama anda diburu oleh para pewarta berita yang menginginkan laporan ekslusif tentang narasi “matinya seorang muda potensial, penulis kambuhan, dan mahasiswa lawas akibat kelalaian seseorang di pinggir jalan.”

Ah, itu cuma berandai. Sedikit bermisal-misal pun tak apa asal tidak merugikan nasab dan tentu saja kantong anda sebagai pembaca.  Dan harusnya pada November yang diberkahi hujan—lengkap dengan—cerita asmara harusnya menjadi perisitiwa yang subtil, agak epik, dan berharap bernas. Sedikit melankolis, tentu saja dibolehkan.

Saya meninggalkan November dengan nada cemas, seperti lengkingan Idris Sardi yang begitu purna pada lagu Juwita Malam. Kadang kala suram yang begitu tidak enak untuk dikatakan laiknya seorang pembeli di sebuah kafe yang kecewa pada makananan yang tidak sesuai antara nama dan rasa. Tak jarang, merupa rintik air yang tidak terdengar walau tak ada hujan yang menyeberang.

November pula yang membuat saya mengerti arti kematian; kehidupan baru yang mungkin akan dipenuhi senyum. Pada seorang renta yang telah beberapa purnama lagi akan menginjak seratus tahun kesunyian. Bertemu dengan kefanaan selepas bosan pada dunia.

Saya rindu sosok ini, dan kematian yang diidamkan dengan senyum mengembang para pelayat. Juga pada doa-doa yang didaraskan oleh manusia-manusia yang datang sepanjang malam. Lalu sejurus mantra yang acap dibunyikan oleh ratusan pendatang.

Ada juga pada November, yang mengisahkan perjuangan pada seorang guru yang kepadanya saya mencari arti pengabdian. Namun pada sebuah sore, saya mendapatkan pesan singkat tentang kematian tentangnya.

Apakah November selalu berarti kematian?

Saya meninggalkan November dengan sendu, dan berharap menikmati bulan hujan lagi pada bulan ini; Desember.

Saya meninggalkan November. Sudikah kau kemari menemaniku menikmatiku menyimak hujan yang turun dari balik jendela.

Saya melihat mendung di atas sana. Lamat-lamat, saya mendengar lengkingan suara fals dari Cholil Efek Rumah Kaca  …selalu ada/ yang bernyanyi dan berelegi dibalik awan hitam/ Aku selalu suka/ sehabis/ hujan di bulan Desember(Desember, 20 08 self title)

Ciputat   1  Desember 2012
@DedikPriyanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar