Tendang, Terjang, Hadang

Kamis, 25 Juli 2013

Lebaran Tanpa Kereta Api (Bag I)


gambar diambil di sini
Momen mudik kali ini saya agak santai untuk menghadapi kepulangan, apalagi saya pertengahan bulan lalu juga sudah pulang kampung untuk menghadiri tahlilan kakek. Tapi ada satu hal yang bakal pasti hilang, saya tidak akan naik kereta lagi.

Bagi saya, mudik dan kereta merupakan rutinitas yang hampir wajib untuk dilakukan tiap tahun, mungkin seperti halnya para suporter yang menjadikan rutinitas nonton sepakbola di stadion sebagai ritus yang harus dijalani. Jika tidak dilakukan, maka sudah dipastikan hidupnya akan sengsara atau minimal ia akan terus merutuki diri.

Coba bayangkan bagaimana jika absen melakukan sebuah ritus yang hampir tiap tahun dilakukan?

Pada lebaran tahun lalu saya masih menaiki kereta api. Itu pun dengan cerita yang lucu sebab saya sudah memegang dua tiket untuk pulang kampung dengan menaiki moda transportasi bus.
Tapi ketika ada tawaran dari beberapa kawan Semarang untuk naik kereta, langsung saya mengiyakan.

Tentu saja dua tiket saya bakal hangus, tapi itu tidak masalah. Naik kereta api, apalagi di dekat jendela, adalah kenikmatan tersendiri. Juga pelbagai hal akan merupa hal-hal yang tidak biasa. Coba rasakan, pasti kamu akan menemukannya di dekat jendela merupa bayang-bayang yang kerap tak terduga.

Biasanya, saya mudik lebaran dua atau satu minggu sebelum hari raya dan tidak langsung menuju rumah. Melainkan akan melakukan penelusuran ke pelbagai daerah terdahulu, atau minimal bakal menemui ragam kawanku yang tersebar di sekitaran Jawa Tengah atau Jawa Timur.

Baru mendekati lebaran, entah tiga atau empat hari, saya baru akan mudik sebenar-benarnya dan pulang ke rumah orang tua di Bojonegoro.

Satu hal lagi, sejak mula ke Jakarta kisar enam tahun lalu, saya selalu enggan untuk naik kereta api bisnis ataupun eksekutif.  Bukan karena soal harga atau hal yang lainnya, atau mungkin saja sebab tidak ada pilihan lain.

Lebih dari itu, dengan naik kereta api ekonomi saya merasa lebih hidup dan merasakan bagaimana manusia berusaha untuk bertahan hidup dan tentu saja menemui sanak keluarga jauh. Pun pelbagai persoalan manusia biasa; kesedihan, tawa dan terkadang kemuraman, saya menemukannya di kereta ekonomi. Bukan di jenis yang lain.

Lamat-lamat, ingatan saya terbetik pada tahun 2009 lalu. Ketika itu saya mudik H-2 dengan menaiki kereta api Kertajaya jurusan  Jakarta-Surabaya. Kereta ini adalah primadona bagi orang-orang biasa semacam saya, walaupun untuk itu kita harus siap berdiri seharian selama kurang lebih 13 jam untuk mencapai tujuan.

Pada tahun itu, saya masih ingat. Saya mendapatkan tiket dengan cara yang sungguh saya tidak ingat dan tidak perlu saya tuliskan sebab pastinya saya lupa. Jadi tolong, jangan paksa saya untuk menuliskannnya atau menceritakannya kepada kalian.

Saya bertemu dengan kawan saya, lebih tepatnya kakak kelas saya di sekolah. Saya masih ingat, namanya Muammar yang beda tiga angkatan di atas saya. Lalu kami saling bercakap laiknya orang yang sudah lama tidak jumpa; berkabar keadaaan, berkisah masa lalu dan bertanya aktivititas kekinian. Juga menyiapkan strategi untuk mendapatkan tempat layak di kereta. Kenapa harus ada strategi?

Kereta saat itu memang begitu berbeda dengan sekarang. Tidak ada karcis sekadar menyandarkan pantat. Kami harus berdiri sebab di karcis yang kami miliki adalah tiket terusan yang bebas tempat duduk. Artinya, mau tidak mau, kami harus mental.

Sudah seringkali saya mengalami hal yang beginian, bahkan sejak dulu masih jaman masih di sekolah. Saya beberapa kali main ke kota lain dengan naik kereta. Biasanya kalau ke Surabaya kami Cuma berbekal 10 ribu rupiah sudah bisa bolak-balik Surabaya dengan naik kereta KRD dan duduk bersama para pedagang—lengkap denngan pelbagai ocehan dan gelak tawa antar mereka yang terkadang miris.

Kembali ke soal kawan saya tadi. Entah kenapa, saat itu ia merasa aneh saja. Ternyata, kawan saya ini baru tahun ini merantau ke Jakarta. Tahun lalu ia bertugas di sebuah daerah di Bandung dan baru kali ini ia tidak memesan tiket. Maka dengan terpaksa harus naik begini.

Untuk mengatasinya, kami pun membeli koran bekas. Syukur-syukur kalau nanti bisa dapat tempat duduk di sela-sela tempat duduk penumpang. Tapi ketika saya melihat ke sekitar peron, saya pikir tidak mungkin. Penumpang sudah menyemut untuk menunggu kereta.

Benar saja, kami masuk dengan  berhimpitan dan harus berdiri tanpa duduk. Kawan saya itu pun tampak lemas. Saya lihat wajahnya memucat selepas memasuki kereta berjalan. Beruntung, kami sebentar-sebentar duduk di bawah.

Bagi saya, pengalaman ini mengasyikkan sekaligus mendebarkan. Kereta ekonomi menyajikan pelbagai keunikan yang tidak akan kita temukan. Misalnya pertemuan dan wajah yang memucat seperti yang saya lihat di raut muka kawan saya tadi. Belum lagi soal pedagang-pedagang kereta api yang bebas mondar-mondir sembari menjajakan pelbagai ragam makanan. Sungguh, ini sebuah keindahan.

Ah, tapi saya hanya bisa bernostalgia semata. Sebab mulai lebaran kali ini saya tidak akan naik kereta ekonomi. Peraturan tidak jelas dari KA yang tidak memerbolehkan lagi karcis terusan sangat menyiksa penggemar kereta api seperti saya. Belum lagi soal pemesanan yang harus jauh-jauh hari sebelumnya.

Mudik kali ini, saya yakin, bakal tidak menarik. Tidak ada lagi bayangan berkelebat, tidak ada lagi suara-suara pedagang menjajakan ragam kuliner dalam gerbong dan tidak lagi wajah yang memucat seperti kawan saya tadi.

Bintaro, 16 Ramadan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar