Tendang, Terjang, Hadang

Senin, 01 April 2013

Hujan Sore Ini dan Saya yang Harus Kembali ke Rumah Maya

Siang ini saya bangun dengan terlambat. Kepala terasa sangat berat laiknya sopir angkot yagn penat dengan macetnya Ciputat. Sukar untuk diajak bangun dan berpikir secara normal.

Bisa jadi ini efek kepulangan saya dari Bekasi Timur semalam—dan kami yang nyasar dan salah menaiki bus sehingga membawa ke Merak—bahkan saya pun lupa menelpon kekasih saya yang minta dibangunkan pukul lima pagi, mungkin dia terlambat, bisa jadi ia telat berangkat kuliah atau tiba-tiba saja ngambek dan tidak berangkat kuliah. Ah, sudahlah.

Saya merasa kepala saya masih sangat berat. Kliyengan. Lalu dengan agak gontai saya menuju kamar mandi. Sial. Ada yang sedang mandi dan saya harus menunggu beberapa menit lagi sembari sesekali berteriak-teriak meminta kawan saya yang di dalam untuk mempercepat kegiatannya di kamar mandi. Pikiran saya meracau. Bahkan saya tidak tahu apa yang hendak saya lakukan, tapi tiba-tiba saya ingin pulang.

Pulang kemana? Bukankah kamu sudah pulang ke rumah beberapa bulan lalu? Ke Jogja? Ah, nanti dulu masih banyak yang harus kamu kerjakan di Jakarta; perihal deadline yang kian memburu dan invoice yang belum juga turun, serta dompet yang kian menipis.

Entah kenapa saya sangat ingin pulang. Entah pulang kemana saja. Ke toko buku? Ah, selepas hilangnya toko buku Gerak-gerik saya tidak punya rumah lagi untuk sekadar berteduh dan toko-toko besar seperti Gramedia atau yang lain belum mampu menjadi rumah bagi kegelisahan saya.

Lalu pulang kemana? Ke dunia maya.

Ngeblog lagi. What’s stranger life, isn’t it?

Pilihan yang bagus. Lagipula akhir-akhir ini microblogging Twitter sudah tidak terlalu menarik; snob dan terkadang ahistoris. Maka saya memang agak sedikit membatasi, kecuali ada pertandingan bola. Sebab berteriak-teriak dalam sebuah pertandingan adalah sebuah kewajiban, dan umpatan merupa sabda suci yang harus dirapal bagi mereka yang menikmati ibadah bola yang dipermainkan oleh 22 orang lelaki di lapangan.

Bukankah kamu juga punya catatan harian—dan tiap hari kamu bawa di ranselmu?

Benar itu. tapi lebih bersifat pribadi dan belum boleh dibagi. Tentu saja ada beberapa yang merupakan kilas balik terhadap banyak hal—termasuk urusan cinta. Tapi tunggu dulu, bukankah kita hidup harus punya privasi dan kesendirian yang tidak boleh diganggu gugat.

Soal kesendirian ini, beberapa hari lalu saya mendapat cerita dari seorang kawan. Ia begitu risih dengan seseorang yang begitu dekat dengannya, tapi akhir-akhir ini ia merasa sudah tidak nyaman dengan perempuan yang konon dicintainya yang sudah mulai melihat BBM dan isi inbox dalam Facebook. “Kita harus punya kesendirian yang itu tidak boleh dilihat manusia lain. Termasuk nanti misalnya kalau sudah menikah. Ada hal-hal tertentu yang harus kita jaga dan nikmati sendiri,” ujarnya suatu sore di sebuah cafe kepada saya.

Saya juga yakin, jika kita membaca catatan harian orang-orang terkenal, pasti ada hal-hal yang tidak boleh mereka cuapkan kepada semesta. Coba tanya kepada Soe Hok-gie, Ahmad Wahid dan mungkin Hellen Keller, pasti mereka tidak mau catatan harian mereka diterbitkan seutuhnya. Pasti akan ada moderasi dan penyuntingan-penyuntingan.

Walaupun toh akhirnya mereka bertiga mampu mengubah keadaan—atau memberi kesadaran. Wahib mampu menera sifat delusional manusia terhadap agama dan Tuhan lewat catatan hariannya, Gie sanggup menjadi teman anak-anak muda yang resah dan kebimbangan dalam cawan perlawanan yang ia suguhkan dan Keller menjadi piranti bagi kekejaman Nazi dan kejinya perang dunia yang dehumanistik.

***

Kawan saya sudah usai mandi, dan saya harus mengguyur kepala saya yang keriting. Semalam saya mungkin tidur jam 4an, saya masih ingat denting suara murottal yang bergema di masjid sebelah dan biasanya dimulai kisar jam 4, setelah itu saya tidak ingat lagi. Termasuk soal niat untuk membangunkan kekasih saya yang tinggal di Jogja itu pada pukul lima pagi (entah siapa yang memasukkan kembali kalimat ini di catatan ini?)

Terkecuali satu kisah tentang Ajip Rosidi dan Iwan Simatupang yang menolak menjadi kelompok Lekra ataupun generasi Manikebu dengan Humanisme Universal.

Saya ingat, karena saya bangun di samping saya ada buku Ajip Rosidi bertajuk Sastra dan Budaja (1995) terbitan Pustaka Jaya. Lamat-lamat, otak saya membayangkan pertemuan antara Ajip dan Iwan  di sebuah kafe di bilangan Bandung itu; pasti pertemuan itu terjadi dengan muka saling murung dan saling berdebat soal humanisme universal dan sastra sebagai bagian dalam politik. Lalu mereka berdua memaku diri dan Ajip yang lebih memilih meninggalkan Iwan yang sedang sendu.

Tapi mereka berdua memilih untuk berkarya dan tidak menyikapi polemik yang menjadi penanda kesusasteraan ’66 itu. Bahkan menurut keterangan Ajip, testamen yang dilakukan Arief Budiman dkk itu hanyalah testamen politik, bukan kebudayaan makanya ia menolak dan Iwan yang lebih memilih bertapa dan melahirkan karya monumentalnya Ziarah dan Merahnya Merah serta beberapa karya lain dibanding harus berpolemik politik.

“Hai, katanya mau mandi! Gua udah percepat dari tadi, elu masih ngelamun!”

Saya tertegun dan memandanginya yang sudah rapi.

“Asu, cepetan lu, pinjemin duit nih. Mumpun belum ujan nih. Gua langsung mau berangkat.”

Lalu saya mengambil dompet dan merogoh beberapa lembar sepuluh ribuan. Pinjam meminjam adalah kebiasaan yang sangat dirindukan orang-orang kontrakan seperti saya dan barangkali kawan saya belum gajian.

Saya memandangi langkahnya keluar dari kontrakan. Di luar masih mendung, saya yakin sebentar lagi akan turun hujan.

Tik... tik.. tik...

Saya harus segera pulang ke rumah maya saya, sore ini.

Ciputat, 01 April 13
@DedikPriyanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar