Tendang, Terjang, Hadang

Senin, 01 April 2013

Kepada Seorang Kawan yang Tak Ingin Kusebut Namanya (1)

Salam hangat, Kawan.

Maaf aku sengaja memakai sapaan ‘kawan’, aku sangat menghindari jika harus menggunakan sahabat, karena kau pasti akan berlirih; jancuk.

Sebenarnya soal ini juga ingin bercerita padamu tentang banyak hal, khususnya soal mulai tidak menariknya organ dan gerakan yang ada, yang mulai terfragmentaris dan terpola sebagai lawakan yang kita harus tertawa dengan sangat keras dan berteriak;”Woi, mahasiswa sudah dibeli, woy idealisme itu berbentuk duit.”

Tapi hari ini aku tidak ingin berbicara itu, Kawan.

Aku ingin berkeluh tentang sifatmu yang mulai meminggirkan diriku sebagai seorang kawan, dan barangkali juga sahabat yang pernah hampir satu dekade bersamamu. Entah.

Tapi agaknya aku yakin ini semua karena kesibukanmu sebagai seorang ketua organisasi, atau karena sifatku yang berubah pada perempuan yang menamatkan studinya di sebuah kota dingin di Jawa Timur, kawanmu juga yang begitu dekat, begitu lekat.

Aku tahu, kau memang sangat berjasa dalam hubugan kami. Kau pula yang mengajaknya ke rumah ketika aku agak kesal kerena dia kerap menyalahi janji untuk bertemu.

Oh, bukan. Tepatnya beberapa kali dia tidak bisa kalau aku ajak untuk pergi. Dan kau, orang yang paling mengerti soal itu. karena perasaan sakit hati juga pernah kau rasakan, bahkan sangat dalam. Begitu dalam.

Tapi hari ini aku tidak ingin berbicara itu, kawan.

Aku hanya ingin bercakap denganmu akan banyak hal di dunia, bahwa hidup ini semakin tidak menarik. Sama seperti tidak menariknya facebook di hadapmu, minimal hari ini. Kenapa? Aku juga tidak tahu, tapi paling tidak aku mendapatkan kegamangan itu ya di twitter.

Ternyata, kawan. Adzan subuh itu sudah bergemuruh. Mataku sudah mulai mengantuk, sangat. Dan menuntuk aku tidur. Tadi siang aku harus reportase yang cukup membuat energi otakku panas, dan tubuhku lemas.

Baiklah, soal gerakan aku cuma rekomondasi buku Richard Lyord Parry, aku kira dia cukup bagus berbicara peristiwa semanggi I dan II, dan jatuhnya soekarno di tangan mahasiswa, atau aku lagi baca tulisan Soe Hok Gie, Zaman Peralihan, aku kira cukup menarik lagi baca-baca soal mahasiswa, yang membuatku untuk berhenti berpikir soal tidak menjadi mahasiswa saja, itu lebih menarik, dan mencari gunung untuk berbuat tiga hal; membaca, bersemedi dan sesakali menulis.

Aku mendengar kamu turut aktif di sebuah parpol. Walaupun aku mengerti, itu sebuah pilihan rasional untuk menelisik masa depan. Aku sungguh tidak simpatik.

Akhir-akhir ini aku merasa sendiri dan terus berada dalam ruang yang sepi. Kapan kita ngopi lagi, di pinggir jalan dan saling menimpal ejekan. Moga kamu cepat lulus. 

Jabat erat,
@DedikPriyanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar