Tendang, Terjang, Hadang

Selasa, 09 April 2013

Paisano, Saya dan Anggur Torelli dari John Steinbeck

(Begundal Monterrey, buku diambil di kover buku)
Entah dosa apa yang telah saya perbuat minggu ini. Saya telah membuat seorang sahabat saya menjadi gila, dan bernafsu. Begitu bernafsunya pemuda yang berambut lurus, ringkih dan tampak tinggi menjulang itu , hingga membuat saya harus beberapa kali berpindah tempat tidur. Guna menjaga diri,  lemari  harus lekas-lekas dirapikan. Kamar mandi pun harus dibersihkan. 

Demi kecintaan saya pada Inter Milan, saya berani bersumpah bahwa seumur hidup saya tidak pernah membuka selangkangan di depan umum, atau bertelanjang dada sembari berlarian di jalanan. Sekadar pamer dada saya yang begitu berisi, begitu gembur.

Hingga saya sangat yakin, hanya dada Bang Haji yang mampu menandingi. Apalagi jika menenteng gitar, dan mengacungkannnya ke atas.

Saya sarankan kepada saudari-saudari sekalian, jangan pernah menyuruh saya membuka baju. Karena saya tidak mau Bang Haji nanti turun tangan, dan memdakwa dengan tuduhan pornoaksi. Apalagi subversif. Hanya karena saya membuka mencopot kaos, dan menunjukannya di  hadapan kalian.

Bukankah Bang Haji juga kerap bertelanjang dada?

(Saya begitu yakin, banyak dari kalian begitu bergeliat melihatnya.
Bukankah reaksi ini yang anda anggap porno Bang?)   

Ah, sudahlah. Saya ingin cerita tentang sahabat saya ini. Masih seperti tadi. Sahabat saya itu begitu bernafsu.

“Ayolah, Om,” ujarnya sedikit memaksa. Saya hanya diam.

Lalu  dengan mimik yang begitu jujur, dan sukar dijelaskan, pemuda yang berasal dari Palembang ini mulai mengobrak-abrik lemari saya, entah apa yang dicari. Yang pasti, ia tidak akan menemukan baju, duit, maupun perempuan di lemari saya. Karena saya hanya mempunyai satu lemari, dan itupun sudah penuh dengan pelbagai macam buku.

Tidak elok kiranya saya bercerita tentang nasib saya yang telah menelantarkan buku-buku yang telat datang ke kamar. Karena pasti, nasib mereka tidak lebih baik dari para jomblo yang telah beberapa kali ditolak cinta. Bahkan saya yakin lebih baik dari para pengungsi. Karena tentu, tidak jarang para donator yang akan menolong. Lalu mereka, siapa yang mau menolong?

Mereka harus rela tidur di tempat terbuka, kedinginan, dan kepanasan.  Tak jarang pula menginap di lemari kawan-kawan yang sekadar meminjam.

Syukur-syukur mereka  kembali, karena seringkali lupa pulang, atau jangan-jangan saya curiga, mereka sengaja mencari tempat yang nyaman untuk diperhatikan, guna dibaca. Laiknya Sherif Woody Cs yang mencari lapak baru untuk dimainkan, karena Andy si pemilik Toys Story sudah beranjak dewasa. 

Sahabat muda saya ini begitu bernafsu…

Betul. pemuda ini begitu bernafsu. Begitu bergairah untuk menyelidiki kamar dan lemari saya.  Tidak perlu dijelaskan bahwa saya tinggal di basecamp sebuah forum studi dan tidak punya kamar. Tapi kenyataanya saya punya kamar. Karena di sebuah kamar yang kerap dijadikan bahan “ngamar”  oleh kawan-kawan saya itu, berisi antrian calon penghuni perpustakaan pribadi saya kelak.  

Saya memang sering menyarankan untuk banyak membaca, seperti halnya saya menyarankan kawan saya yang menulis “Membuka Daun Telinga Lewat Tortilla Flat” untuk sering menonton bola. Ya, sekadar mengingatkan bahwa membaca dan menonton bola adalah pekerjaan yang begitu nikmat.

Tidak kalah dengan  anestesi seseorang ketika menulis surat untuk seorang kekasih yang dicintai nun jauh di sana.

"Dari novel yang pernah saya baca. Ini (sembari menenteng Tortilla Flat) yang paling gila dan lucu,” selorohnya sembari ketawa sendirian.

Matanya berbinar menatap kacamata yang sedang saya pakai. Lalu dia bercerita banyak hal, tentang Danny, Pilon, Joe Portogis, Jesus Maria, Pablo dan Bajak Laut. Lengkingan tawa sesekali menyeruak di antara kami. Semenjak itu pula ia minta rekomendasi saya soal bacaan, dan sejurus kemudian saya merekomendasikan Ronggeng Dukuh Paruk untuk dilahap.

“Novel yang menginspirasi Ronggeng Paruh adalah Dataran Tortilla. Karya Steinbeck,” seloroh Si Celurit Emas, D. Zawawi Imron, ketika kami berdiskusi di Pojok Gus Dur beberapa bulan lalu.

Seketika itu pula saya terdiam, dan menolah ke arah Abah.

Sejenak mata kami bertaut, seolah ingin berteriak bersama,”Brengsek Steinbeck!” 

Sungguh. Saya iri dengan sahabat muda saya ini. Baru awal masuk kuliah sudah membaca kebiadaan kaum Paisano yang diterjemahkan dengan begitu brengsek oleh Djoko Lelono.

Sedangkan saya, harus menunggu bertahun-tahun dari mula menjejakkan kaki di Ciputat. Itupun dengan berat hati saya harus memfotocopy dari seorang kawan.

Entah, siapa pula dia?

Saya sendiri membaca buku itu dua kali, dan mata saya begitu tertohok dengan percakapan Pilon dan Pablo di hutan perihal  hujan dan air yang turun saat itu. Mereka berdebat soal bagaimana air hujan yang turun. Ada yang berkata bahwa  jika turun berupa permata. Maka, tentu mereka akan kaya, dan banyak uang untuk dibawa ke Torelli guna dibelikan anggur.

Namun, akhirnya mereka sepakat bahwa air hujan yang turun malam itu alangkah lebih indah jika berupa anggur. Tentu anggur Torelli.  Karena dengan itu,  mereka akan lebih bisa menikmati tiap jengkal, tiap waktu untuk menikmati anggur. Imajinasi ini, bagi saya, begitu gila.

Anggur Torelli begitu merasuki otak saya, dan kerap mengusik alam bawah sadar saya. Bahkan sampai sekarang saya masih terus mencari tempat ini di Ciputat. Jika saudara tahu, ajaklah saya. Bahkan saya yakin, jika pun Tuhan tahu, ia pasti sekarang sedang di Torelli.    

Selepas membaca buku yang kedua kali, entah kenapa saya jadi teringat sebuah film popular Vino G. Bastian. Judulnya Punk In Love (2009) besutan Ody C. Harahap. Beberapa minggu lalu, saya menonton kembali film yang pernah membuat seisi Piramida Circle dirundung tawa tiada berkesudahan.

Barangkali kalau rumah ini berada di dekat kerumunan warga, mereka tiada berdosa untuk sekadar melempar batu ke arah kami, dan kami tentu terus tertawa.

Iya, saya menemukan hal yang serupa.

Walaupun secara eksplisit tidak menyebut bahwa karya ini terinspirasi Steinbeck. Entah, saya begitu yakin bahwa sutradara, atau penulis skenarionya pernah baca Dataran Tortilla. Kita bisa mendebat soal itu. Tapi persahabatan dan kebrengsekan mereka mengingatkan saya pada Danny, Pablo dkk.

Begitulah, selepas baca ini, saya begitu bernafsu untuk mencari karya Steinbeck yang lain, dan juga mencari novel asli. Beberapa kali saya mencari di toko buku konvensional tidak ketemu.

Pernah suatu tempo menemukannya tergeletak di antara buku terjemahan  lainnya, tapi malang tak bisa ditolak, saat itu isi dompet saya hanya setengah dari harga yang tertera di buku tersebut. Dalam hati saya mengumpat, namun juga bahagia.

Gembira karena saya akan mendapatkan buku asli tersebut. Bukan fotocopy, begitu pikir saya. Dan menunjukkan pada mereka yang sering meremehkan para sivitas pemfotocopy. Sebulan selepas peristiwa itu, saya mengumpat kembali sembari mendengar dinginnya seorang kasir berkata lirih,”Sudah tidak ada, Mas. Stok habis kayaknya. “

Sontak, saya kecewa untuk kembali. Saya pun mencari di toko-toko buku langganan. Tapi hasilnya sama; nihil. Dan sampai sekarang saya hanya mempunyai versi fotocopy. Entah bagaimana tawasul saya nanti, seperti kebiasaan saya waktu dulu saat ngaji, yang harus melafalkan doa kepada mereka yang berjasa atas keberadaan buku ini di muka bumi.

Maka, ketika saya ditanya banyak orang tentang sebuah novel yang patut ditempatkan di tempat utama dalam perpustakaan. Jawaban saya bulat, Tortilla Flat karya John Steinbeck.

Sahabat saya tadi sepakat. Anda juga sepakat, bukan?




@DedikPriyanto
 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar