Tendang, Terjang, Hadang

Sabtu, 27 April 2013

Lima Novel yang Menemani Saya Tumbuh


Kawan saya tumbuh itu kamu.

23 April adalah hari buku dunia. Tahun lalu, saya menulis di blog saya ini perihal beberapa buku saya yang pernah terbit. Bukan sesuatu yang fenomenal, tapi minimal mereka adalah penanda jejak, bahwa hidup ini cukup layak untuk sekadar dikenang—minimal oleh orang yang pernah membaca. Bahkan jika aku terpaksa meninggalkan dunia hari ini, saya tidak akan terlalu merugi.

Salah. Tentu saja saya akan rugi. Sebab apa yang saya tulis bukan sesuatu yang luar biasa seperti orang-orang kreatif mencipta anak-anaknya. Tapi sudahlah, di hari buku ini, saya hanya ingin berbagi perihal lima novel yang harus dibaca agar kamu tidak merasa rugi pernah singgah di dunia yang ringkih ini.

Tidak ada kriteria khusus tentang pemilihan lima novel ini. Hanya berdasarkan kesukaan saya saja. Juga tak ada pembatasan khusus atas genre tertentu, cuma hobi saya akan tema cinta, kenangan, masa lalu dan humor—dan tentu saja yang pernah saya baca.

Untuk itu, saya akan membagi menjadi lima novel Indonesia saja. Saya tidak bermaksud mendikotomi, tapi minimal lima novel menjadi teman yang begitu akrab dan hangat selama hampir lima tahun ini.

Tapi untuk itu, saya harus menyisihkan beberapa nama penulis lawas dari Indonesia semacam Pramoedya Ananto Toer, Seno Gumira Ajidarma, Mochtar Lubis, Mahbub Djunaidi, Toha Mohtar dan lain-lain. Nah, yang akan saya dedahkan adalah novelis muda yang dibawah 40-an. Saya pikir, merekalah pemegang estafet kepengarangan kita.

Cantik Itu Luka



Cantik Itu Luka. Gambar di sini
Novel ini ditulis Eka Kurniawan, penulis dari Tasikmalaya, generasi penulis Jogja dan salah satu penulis yang selalu saya tunggu karyanya. Entah kenapa saya begitu yakin, novel ini merupakan novel terbaik Indonesia saat ini. Begitu ritmis, liris dan magis. 

Gaya bertutur Eka yang menyerupai dongeng membuat hati saya tergerak untuk mencari sejauh mana istri dari novelis Ratih Kumala ini berproses. Ia pula yang membuat alam bawah sadar saya terus bergejolak dan menyimak narasi kesadaran dari Dewi Ayu, Si Cantik dan Kamerad Kliwon di dunia entah yang bernama Halimunda.

Novel ini mirip Marquez dengan One Years of Solitude dengan Macondo sebagai pijaknya. Tapi, sebagai seorang terinspirasi oleh Marquez—siapa pula yang tidak terinspirasi realisme magis yang diciptakannya—Eka Kurniawan begitu sukses, bahkan sangat sukses melebihi penulis yang ditirunya.

Tapi menyebut Eka tanpa menyibak realitas historis pribadinya adalah kesalahan. Sastra Indonesia adalah bagian dari peradaban dunia. Dan Eka lahir dari peradaban sastra dunia.

Jika kamu sempat membaca proses kreatif kepenenulisan Eka Kurniawan di di On/Off edisi  2006, kamu akan melihat bagaimana seorang lelaki yang diasuh oleh pengarang dunia semacam Knut Hamsun, Yasunawari Kawabata, Miguel de Carvantes dan tentu saja Gabriel Garcia Marquez.  

Tapi saat ini ia memutuskan untuk menyapih diri dari asuhan para penulis dunia ini. Ia pun berkata begini,”Hingga datang waktu saya harus menyapih diri dari para pengasuh, bahkan dari para orang tua, dan mencari sendiri teman, kekasih dan sekaligus musuh. Saya membaca buku apapun yang saya peroleh. Buku pengobatan maupun manual mengoperasikan telepon genggam. Lalu saya mulai menulis, dan dengan cara itulah, seorang pengarang menemui ajalnya."

Aku, Buku dan Sepotong Sajak Cinta
Kover yang membuat jatuh cinta


Saya terpikat pertama kali lewat judul novel ini. Proses saya menemukannya pun harus dengan curi baca. Berawal dari kawan saya yang—entah meminjam darimana—membawa buku ini dan dibaca di teras depan kontrakan. Lalu entah kenapa kawan saya ini tiba-tiba ke kamar dan meletakkan bukunya di samping televisi.

Sontak saja, saya langsung membacanya dan menjauh. Tatkala kawan saya bangun dan mencari buku ini, saya sengaja berniat mencurinya. Belakangan ia tahu, saya hanya berdalih, buku itu saya baca dan lupa. Tapi entah kenapa, sampai sekarang, saya ingin mencuri buku itu. walaupun saya tahu, kalau saya merajuk dan meminta pasti dikasih, tapi sekali lagi, saya ingin mencurinya. Itu saja.  Tidak salah, bukan? ?

Kovernya begitu buluk, tapi begitu menyentak; seorang lelaki yang tampak sedang mengayuh sepeda onthel dan dibelakangnya terdapat buku-buku. Sublim.

Novel ini berkisah perihal kehidupan sunyi yang harus dialami ketika orang memutuskan untuk menjadi seorang penulis dan meninggalkan dunia kuliah. Orang yang begitu mencintai dunia menulis dan buku hingga ia menukarkan hidup dan nyawanya hanya untuk membaca.

Tak hanya itu, buku ini juga mengulik dunia penerbitan Jogja yang riuh oleh penerbitan. Lengkap dengan pelbagai tipu daya dan unsur humor tentang dunia yang konon mencerdaskan manusia ini. Buku ini ditulis dengan apik oleh Muhidin M. Dahlan.

Satu hal lagi, buku ini merekam jejak Jogja sebagai kota buku, gerakan dan juga cinta. Juga memotret perdebatan masa awal 2000-an perihal debat buku terjemahan yang memantik sengit antara kubu penulis/penerjemah asal Jogja dan Jakarta yang acapkali sok pintar itu.

Namun, sayang sekali, beberapa bulan lalu saya menemukan buku ini diterbitkan ulang dengan perwajahan yang begitu mengecewakan dan diberi tajuk yang sangat buruk ‘Jalan Sunyi Seorang Penulis’. Ah, saya sungguh tidak simpati.

Jika Gus Muh, begitu ia disapa, membaca catatan sederhana ini, tolong kembalikan cinta saya kepada sosok pria ringkih berambut gondrong yang berada dalam ‘Aku, Buku dan Sepotong Sajak Cinta ini.

Dadaisme

Novel absurd dan kedalaman manusia. gambar di sini
Dadaisme adalah novel psikologis paling sublim selepas saya membaca novel klasik dari Toha Mohtar yang berjudul Pulang (1957). Walaupun berbeda cerita dan perwajahan dalam mengemas suasana psikologis, Entah kenapa, saya begitu menyukai novel ini. Novel yang ritmis dan penuh dengan tanda yang tidak akan selesai dengan dibaca satu kali.

Penulisnya masih muda, begitu muda malah. Novel ini pula yang memenangkan sayembara novel DKJ tahun 2005. Di tempat inipula, saya menemukan dunia ganjil yang entah berada di kepala siapa. Bisa saja dunia ini ada di kepalamu tapi tidak pernah bisa kamu mengerti.

Maka, simaklah sekelumit pembuka dalam novel ini, begini;
Sebut saja kota itu sebagai Metropolis—ada banyak alasan mengapa tidak pernah bisa disebutkan namanya—, sebuah kota yang bila mau disamakan seperti layaknya kota-kota besar dimanapun berada. Penuh dengan gedung-gedung besar, jalan-jalan layang membelah langit, mulusnya aspal-aspal yang berkilat disiram cahaya matahari, tidak juga lampu-lampu yang berkelap-kelip, atua lebih mengejanya; neon berwarna.

Begitulah, Dadaisme mencoba untuk tidak memberikan nama untuk bisa membuat orang jatuh cinta. Tapi ia akan membuat pembaca seperti saya jatuh hati pada halaman pertama. Begitu kira-kira.

Cinta Tak Pernah Tepat Waktu

Jika kamu adalah seorang lelaki yang hidup dengan cinta, kenangan dan masa lalu yang mungkin suram atau penuh kesenduan. Maka saya sarankan jangan menbaca novel yang ditulis oleh penulis brengsek yang saya kagumi ini; Puthut EA.
jangan baca buku ini, bakal kecanduan :p

Karena novel ini, saya seakan menemukan diri saya melebur di dalamnya; seorang mahasiswa yang belum lulus, terserap pada dunia masa lalu, soerang pembunuh bayaran dan banyak ragam yang mengitarkan kehidupan yang entah, juga perihal cinta yang selalu kandas—entah siapa yang memasukkan kalimat ini di sini.

Di novel inipula, saya menemukan gaya bertutur yang lincah, penuh dengan humor, acapkali satir dan seringkali suram. Jadi, saya tidak bisa bercakap banyak soal novel dan penulis cerita ini, sila baca dan cari siapa tahu kamu menemukan dirimu juga di sini.

9 Dari Nadira

novel yang liris bernas.
Saya tidak bisa untuk mengeyahkan jalinan cerita dari Leila S. Chudori ini dari catatan ringan saya ini. Dunia rekaan yang dibangun oleh jurnalis Tempo ini memburatkan perwajahan cerita yang begitu ritmis dan penuh dengan tanda tanya.

Saya orang yang sangat suka dengan cerita berbau berita, seperti halnya saya menyukai cinta. Dan lewat 9 dari Nadira, Leila Chudori mampu menampilkan setting kantor berita yang sangat nyata.
Kadang saya berpikir, cerita-cerita di dalam ini merupakan kisah pribadi penulisnya yang sangat muram. Juga perjumpaan dengan Goenawan Mohammad yang lamat-lamat saya baca sebagai bentuk glorifikasi terhadap tokoh yang—terlepas dari kontroversinya—adalah orang yang begitu berjasa pada dunia sastra dan jurnalisme kita hari ini.

Mungkin ketika membaca catatan ini, kamu akan mendebat, bukankah 9 dari Nadira adalah bentuk kumpulan cerpen seperti yang tertera di pembukanya?

Tapi, coba anda perhatikan, pertalian dan pertautan antar mereka adalah jalinan kisah yang saling berjumpa. Saya lebih suka menggolongkan buku ini dalam jenis novel. Toh, kalau kita mau berdebat, bukankah tetralogi Buru karya Pram adalah jalinan kisah yang mampu berdiri sendiri—dan tak akan kehilangan makna jika dibaca bersambung.

Terlepas dari debat itu, kamu akan begitu rugi dalam hidupmu jika belum pernah membaca cerita ini. Bahkan menurut saya, ini lebih dari sublim gaya bercerita daripada Malam Terakhir dan karya terbarunya yang ditunggu khalayak, Pulang (2013).

***

Sekali lagi, lima novel di atas tidak menunjukkan apa-apa. Paling tidak, mereka telah menemani saya tumbuh dengan bacaan-bacaan yagn bermutu—dan dari Indonesia tentunya. Boleh kamu menyebutnya bacaan sastra yagn bermutuh. Toh, seperti kata SGA tempo hari saat ngobrol, tidak disebut sastra juga tidak apa-apa.

Sekali lagi, mereka ini yang menemani saya tumbuh dan bergeliat.

Ada beberapa novel sebenarnya, yang saya akan berdosa jika tidak menyebutnya dan mereka harus bersedia terlempar ke lima besar laiknya klub Liverpool yang selalu gagal masuk ke lima besar beberapa tahun belakangan.

Beberapa novel itu antara lain; Lelaki Harimau (Eka Kurniawan), Kronik Betawi (Ratih Kumala), Negara Kelima (ES Ito) dan tidak dilupakan adalah karya Seno Gumira Ajidarma; Kitab Omong Kosong, Negeri Senja, Kalatidha, dan lain-lain.

Hmm.. catatan saya menjadi panjang. Baiklah, itu lima novel yang menemani saya tumbuh. Kalau kamu?

Ciputat, 23 April 2013
@DedikPriyanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar