Tendang, Terjang, Hadang

Sabtu, 20 April 2013

Selepas Tujuh Purnama Itu


~ Kepada T
I
Mendadak semuanya begitu sendu. Caramu berbicara yang kian lirih, senarai pesan singkat yang terus memberi jawab, gelisah yang saling berbalas, serta pelbagai percakapan tak henti merupa alur hidup yang entah. Tak ada yang lebih menyehatkan daripada senyum gadis manis yang dengan tulus mengajakmu untuk sekadar berjalan membelah malam.

Aku masih ingat betul malam itu, kala kamu dengan genit menggamit tanganku dengan mesra membelah jalanan Malioboro. Hujan rintik menjadi saksi dan hangatnya tawamu adalah opium yang bagaimana aku bisa melupakannya hari itu—hingga kapan—aku tidak pernah bisa mengerti.

Bukankah kenangan dapat tercipta hanya dengan satu sentuhan, satu genggaman tangan, satu malam!

Sebab kangen adalah rasa purba yang tidak pernah mampu terjawab dari dua manusia yang jatuh cinta, dan jarak menjelma guru yang tak henti mengajarkan arti rindu.

Maka jatuh cinta kepadamu adalah nasib yang aku nikmati, walaupun sekali lagi, jarak menjelma guru yang  senanatiasa terus mengajari mengajari arti merindu.

“Bahkan sampai hari ini, kita tidak pernah mengerti siapa kekasih kita masing-masing,” tuturmu tempo hari di sebuah malam.

Lalu ponsel itu berhenti berdenyit, ada tangis sederhana yang lamat-lamat aku dengar dan getar dada yang sukar aku pahami.

Aku lupa, aku sungguh tidak mengingat kapan terakhir kali aku merasa begitu sedih dan begitu ingin pergi ke sebuah tempat yang tidak ada satupun mata yang menatapku. Aku ingin menangis sejadi-jadinya, hilang sejauh-jauhnya dan berteriak sekeras-kerasnya.

Jatuh cinta memang sakit, Puan! Tapi, mencintai adalah menyiapkan hati untuk bahagia dan kecewa sekaligus. Kita tidak pernah bisa memesannya satu hanya satu. Aku menikmatinya. Sungguh.

Salah satu peristiwa yang paling aku hindari dalam hidup adalah melihat seorang perempuan menitikkan air mata. Suara yang parau, denting yang berjalan dengan sesenggukan, dan mata sayu berlinang air adalah perkara yang sukar aku terima.

Aku pernah melihatnya, dan aku tidak mau mengulangi hal yang serupa Aku acapkali melihat ibuku kala menangis dan aku benar-benar tidak sanggup untuk sekadar menatap matanya yang sendu itu. Kadang aku berpikir, betapa tidak adilnya manusia-manusia yang kerap menggangap tangisan adalah perbuatan cengeng, lemah dan goyah.

Bahkan hanya menisbahkan persoalan tangis kepada perempuan semata. Bukankah Che Guevara juga menangis kala mengirimkan surat dari kepada Fidel, isterinya yang tercinta itu, sebelum ditangkap oleh para bolivar yang berkhianat. Apakah sosok revolusioner itu cengeng?

Aku begitu yakin, seorang yang kuat bukanlah mereka yang mampu mengangkat beban ratusan kilogram, melainkan pribadi yang sanggup memberikan ruang bagi hatinya untuk menjadi manusia seutuhnya, yang mengerti bahwa hidup hanyalah perbendaharaan pemahaman kepada manusia lainnya.

Dan mendengarmu sesengguhkan menahan tangis merupakan episode sakit yang tak terperi, lebih sedih dibanding gagang badminton yang pernah tertancap di kaki kiriku kala beranjak dewasa. Seakan pusaran waktu berhenti dan malam terasa begitu panjang aku lalui.

“Terima kasih sudah menyayangiku. Itu adalah hal yang berarti bagiku,“ katamu di sebuah pesan singkat.

II

Mendadak semuanya begitu sederhana. Caramu merajuk dengan sedikit dengusan yang kian renyah, silang cakap yang terus memudarkan gelisah, tawa kecil yang mengitarkan gembira di semesta dan pelbagai perbincangan yang menawarkan pemahaman akan rindu yang terus memuncak. Tak ada kisah yang lebih sendu dari cinta yang menawarkan gelisah.

Aku masih ingat malam itu, sebuah malam ketika kita pertama kali saling menjejakkan pandang, menutupi apa yang tengah bergejolak lewat perbincangan-perbincangan biasa dan mendedahkan rasa yang entah tak bisa aku pahami—dan mungkin kamu juga.

Lalu semuanya menjadi begitu purna, di malam itu. Cinta merupakan putaran nasib yang harus dijalani sekuat-kuatnya. Kadang cinta tak harus disepakati dan sedih adalah pilihan yang harus terterima jika rasa tak bertaut. Semesta akan menjadi kabar dari kesunyian bagi mereka yang percaya akan cinta. 

Nasib adalah kesunyian masing-masing, kata Chairil. Dan cinta merupakan kesenduan masing-masing, kataku.

Lima belas Oktober dua ribu dua belas adalah janji. Janji mengikat rasa yang telah mengudar di semesta. Jika toh bisa, aku ingin membungkus semesta ini menjadi sebuah kado kecil, lalu aku antar ke kantor pos dan membubuhkan alamat rumahmu di sana.

Tak ada keinginan lain melebihi itu.

Hening kerap ternyata dari percakapan-percakapan biasa. Masa bergulir seperti janji yang tak pernah teringkari dan matahari tiap hari menyapa tanpa henti. Tanpa aku sadari, kisah itu sudah berjalan hampir tujuh bulan sejak sebuah malam yang—penuh—gelisah cinta itu.

Aku tidak pernah tahu kisah ini akan berjalan sampai mana, seperti halnya aku tidak pernah tahu kapan akan merasa lelah untuk terus mencintaimu—dan aku tidak pernah berpikir untuk berhenti.

Namun aku yakin, akan datang suatu masa yang bakal menentukan kisah ini bertaut, memilih untuk berada di dermaga sembari memandang lautan yang luas atau berhenti di  terminal dan membuat kita menaiki bus masing-masing ke tujuan yang entah.

Belakangan ini,  beban pekerjaan yang kian menumpuk membuatmu limbung dan jatuh sakit. Entah kenapa aku begitu bingung dan seakan tidak punya daya untuk melangkahkan kaki beberapa hari. Ingin rasanya ragaku ke sana, membuatkan teh hangat untukmu, menyuapimu bubur dan menemanimu meminum obat.

Dunia terasa begitu suram. Apakah aku terlalu berlebihan? Ah sudahlah.

Aku menulis ini dengan iringan lagu Broery Marantika dan Dewi Yull yang berjudul ‘Sepanjang Jalan Kenangan’. Dan jalan kita memang penuh kenangan. Bukan saja untukku, tapi untuk senyum manismu dan semesta yang selalu menyimpan cerita tentang kita.

Jakarta, 18 April 2013
@DedikPriyanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar