Tendang, Terjang, Hadang

Kamis, 29 Juli 2010

Kematian Cerpen Indonesia*


oleh: Dedik Priyanto

Judul Buku : 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2009
Penulis : Triyanto Triwikromo (Ed)
Penerbit : Gramedia
Cetakan : I, 2009
Halaman : Iii+176 Halaman
Harga : Rp. 50. 000,00

Kematian adalah sosok yang paling menakutkan bagi manusia. Dan mau tidak mau semua yang bernyawa pasti akan mengalami hal ini; aku, kamu dan jiwa-jiwa yang akan bertemu dengan-Nya melalui perantara kematian.

Dan dunia sastra—khususnya cerpen—meminjam istilah Hamsad Rangkuti, adalah cerminan dunia nyata. Maka apakah ini merupakan cermin kematian kita; manusia, yang digambarkan melalui narasi yang disebut “cerita pendek”. Itulah yang coba penulis kuak melalui buku yang berjudul “kumpulan cerpen terbaik tahun 2009” ini. Yang merupakan representasi cerpen-cerpen terbaik di Indonesia yang berserakan di pelbagai media massa rentang 2008-2009, dan juga diseleksi oleh para sastrawan nomer wahid semacam Sapardi Joko Damono, Budi Dharma, Putu Wijaya, Sutardji Colzoum Bachri dst.

Dari sekian cerpen yang ada, paling tidak ada empat cerpen di sini yang mengeksplorasi kematian sebagai ide dasarnya, yaitu Cincin kawin (Danarto), Lembah Kematian Ibu (Triyanto Triwikromo), Hari Ketika Kau Mati (Stefanny Irawan) dan Kamar Bunuh Diri (Zaim Rofiqi). Yang seringkali tema-tema kematian seperti ini dieksplorasi dengan ciamik oleh Hudan Hidayat.

Danarto misalnya, ia mencoba menguak sisi gelap masa orde baru, yang mana banyak terjadi pembunuhan dan penculikan manakala pendapatnya berbeda dengan pemerintah. Dan potret kemiskinan menjadi spektrum yang sangat kentara mewarnai cerpen ini. Khususnya ketika sang ibu menemukan potongan-potongan daging suaminya dalam perut ikan yang ia beli dengan harga sangat murah, karena tidak mampu beli yang lainya. Melalui penanda cincin perkawinan yang masih menempel di jari suaminya, hingga tak lama Ibu pun meninggal dunia ( Hal 36).

Lain halnya dengan apa yang dituturkan Zaim Rofiqi dan Stefanni Irawan. Mereka mencoba mengkonteksualisasikan fenomena yang akhir-akhir ini memang banyak terjadi di negeri ini, yaitu bunuh diri.

Dua kisah ini menggambarkan suasana destruktif kekecewaan manusia atas keadaan yang ada, dan berusaha mengakhirinya. Meminjam istilah Freud, bahwa dalam diri manusia terdapat dua kekuatan yang saling bertentangan. Yaitu dorongan bertahan hidup (Eros), dan dorongan menuju kematian (Thanatos) pada dirinya, yang kedua ini lebih bersifat menghancurkan. Dan kedua cerita ini seolah menggambarkan kekalahan jiwa rasional manusia menghadapi dunia realita yang ada.

Memang sedikit simplistis jika hanya berbicara tentang kematian melalui dunia kecil yang biasa kita sebut “cerpen”. Tapi, paling tidak buku ini mampu menggugah hati kita sebagai manusia, bahwa hidup ini tidak akan pernah lepas dari kematian. Entah itu kita menolak kedatanganya kelak, atau bahkan menjemputnya dengan tangan terbuka.

*Resensi ini dimuat di Majalah sastra Teh Hangat, Senjakala

Tidak ada komentar:

Posting Komentar