Tendang, Terjang, Hadang

Kamis, 29 Juli 2010

WARISAN ILMU SOSIAL GUS DUR* (Pengalaman saat membaca buku Gus Dur dan Ilmu Sosial Transofmatif)

oleh: Dedik Priyanto**

Seperti biasa, setiap sore penulis datang dari kampus dan menuju kost. Kala itu, penulis menemukan sebuah buku yang sangat mencolok mata di samping televisi. Laiknya bunga mawar yang mencolok dengan keindahan merahnya, begitu pula buku itu. Dengan sampul Gus Dur yang sedang tertawa. Pun ditambah pengarangnya yang acapkali penulis jumpai di forum-forum studi maupun seminar-seminar tentang kebudayaan; Syaiful Arif. Buku itu berjudul Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif.

Maka penulis hampiri buku itu, kemudian membacanya. Di situ penulis mendapatkan sebuah pemahaman baru, khususnya mengenai sosok yang wujudnya acapkali menghiasi kalender-kalender di kediaman penulis yang berada di ujung perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah; Kota Angling Dharma Bojonegoro. Itu pula agaknya yang menuntut penulis untuk mendekatkan diri pada spektrum pemikiran beliau yang “konon” sangat luas itu.

Dari buku inilah, penulis sedikit memahami bahwa percikan-percikan pemikiran Gus Dur, yang dilukis melalui buk ini mencoba mendedahkan salah satu dari sekian banyaknya tafsir atas spektrum pemikiran Gus Dur. Meminjam istilah Ulil Abshar Abdalla, bahwa sosok satu ini ibarat sebuah teks terbuka. Dan karena sifatnya yang terbuka itu, maka memungkinkan tafsir yang tidak tunggal. Tafsir-tafsir itu semacam pelabelan liberalisme, tradisionalisme, post-tradisionalisme, modernisme, bahkan neo-modernisme seperti yang diutarakan Greg Barton, Indonesianis asal Australia.

Di sinilah tafsiran yang dilakukan oleh Syaiful Arif, yang mencoba menguak pemikiran Gus Dur lewat kacamata ilmu sosial. Agaknya hal ini yang menurut santri Pesantren Ciganjur ini lebih pas disandingkan pada diri Gus Dur, khususnya atas apa yang dilakukan beliau dalam transformasi sosial dan keagamaan. Yakni pembebasan dari belenggu kolonialisme kekuasaan yang terbukti menghapus hak-hak rakyat terutama minoritas.

Pembebasan seperti apa yang diinginkan Gus Dur? Berbeda dengan Marx, pembebasan yang dilakukan oleh Gus Dur tidak mengenal adanya kelas-kelas seperti apa yang diutarakan kaum Marxian, juga karena meniadakan agama sebagai salah satu fundamen terpenting dalam arah transformasi sosial. Bagi beliau, agama —khususnya islam—adalah fundamen utama guna dijadikan media pembebasan dari segala jerat hegemoni dan ideologisasi.

Itulah mengapa beliau menyebut islam sebagai etika sosial. Maka etika yang acapkali menjadi perdebatan antar pemikir, sastrawan, budayawan maupun filsuf menjadi amat benderang di mata Gus Dur kini. Jikalau menengok lebih mendalam tentang etika sosial ini, bagi Gus Dur dimaknai sebagai sebuah bentuk pembanding bagi modernitas yang cenderung individualistis, dan acapkali kering secara spirirutalitas. Maka etika sosial seperti inilah yang harus menjadi basis pergerakan bagi muslim dalam kehidupan, yang tidak silau pada budaya-budaya modernitas.

Maka, melalui buku inilah, agaknya lanskap pemikiran ilmu sosial Gus Dur yang begitu luas itu mampu diterjemahkan dengan brilian. Hingga membukakan tabir bagi kita bahwa sosok satu ini juga mewariskan bagi kita khazanah ilmu sosial yang membebaskan, khususnya bagi generasi penerus yang harus terus dielaborasi dan dieksplorasi. Namun, lagi-lagi memperbincangkan pelbagai warisan Gus Dur memang tidak akan pernah habis. Karena jikalau kita mau tengok, Gus Dur tidak hanya mewariskan hal ini saja. Banyak sekali sisi keilmuan beliau yang agaknya perlu kita kuak dan kita gali kembali lebih mendalam.

* Esai ini diajukan sebagai syarat untuk mengikuti pelatihan Tadarus kolom-kolom Gus Dur yang diselenggarakan oleh The Wahid Institute selama dua bulan di LSM para Gus Durian, berkat esai ini juga penulis berhasil memperoleh program pelatihan itu yang hanya 25 orang yang terpilih dan selama dua bulan penuh dilatih serta bertemu dengan para tokoh nasional semisal Rizal Ramli, Andreas Harsono, Adi Massardi, Dr. Rumadi, Ahmad Suaedy dll, untuk membincang tentang teks-teks Gus Dur, peranan, serta gerakan-gerakan sosial keagamaan yang telah, belum dan akan direalisasikan, hingga nanti akan terwujudnya kedamaian, pluralisme yang kian utuh, juga kesejahteraan yang menjadi tujuan mulia Gus Dur.

1 komentar: