Tendang, Terjang, Hadang

Rabu, 28 Juli 2010

Prasasti*

Oleh: Dedik Priyanto **

Orang itu selalu bersungut. Argumentasinya menggebu-gebu. Terutama jika tesis yang ia utarakan dapat dipatahkan oleh orang lain. Naik pitamlah dia dan membuat orang lain acapkali tunduk dengan teori yang ia keluarkan. Namun tatkala penulis ajukan sebuah pertanyaan satir,”Mengapa tidak dikau tuliskan argumentasimu itu?” Ia diam.

Ihwal tentang wacana pemikiran acapkali menjadikan manusia menjadi sosok yang berbeda. Khususnya tentang pemaknaan kebudayaan dalam lingkupnya yang cukup luas. Terutama membincang persoalan peradaban. Maka persoalan yang penulis ketengahkan memang menjadi hal yang cukup dilematis. Mengingat dalam peradaban ada ruang-ruang tertentu yang merupakan kaki dari spektrum wacana yang luas. Yakni persoalan peradaban teks yang seringkali dilupa, atau terlupa sebagai pengejewantahan pemikiran.

Ernst Cassirer menuturkan bahwa manusia adalah mahluk simbol “animal symbolicum” (Cassirer, 1944). Disadari atau tidak, kita hidup dengan bergelimang simbol. Hal itu dimaknai sebagai bentuk eksistensi manusia dengan keadaan. Maka kebudayaan dan peradaban merupakan hasil dari perkembangan simbol ini. Simbol ini bisa menjadi banyak anasir yang berbeda; bahasa, seni, dan kehidupan lainya. Pun manusia adalah penjelmaan simbol dengan interpretasi entitas yang berdarah daging dan memilki otak.

Jikalau kita mau menengok ke belakang, maka peradaban manusia tidak akan pernah terlepas dari simbol ini. Bukti tak terbantahkan adalah penemuan bukti-bukti sejarah dari masa lampau. Semisal Mesir dengan piramida, Cina dengan Tembok Besarnya, India dengan Taj Mahalnya, bahkan Indonesia dengan Boroduburnya yang merupakan bukti tingginya sebuah peradaban. Tak pelak, hal ini mengingatkan penulis teringat dengan simbol yang paling kuat dalam peradaban manusia, yaitu tulisan yang acapkali berupa prasasti-prasasti.

Prasasti inilah yang membuat para ilmuwan memahami peta-peta historis masa lalu. Pun dengan pergolakan yang terjadi kala itu. Maka sebuah keniscayaan tatkala ingin membuat sesuatu dalam peradaban hanya dengan peradaban wacana saja. Itu pula yang banyak dikeluhkan oleh para filsuf bahwa kehampaan ruang-ruang dalam melukiskan pikiran-pikiran yang mengembang dalam benak masing-masing individu para pemikir.

Hingga menguaplah pemikiran mereka bersamaan dengan terbenamnya diri.
Tak ayal, ilmuwan terkemuka, Isaac Newton, pun pernah mengatakan bahwa temuan-temuannya tak bisa berdiri tanpa ada orang-orang terdahulu. Khususnya yang telah membangun peradaban dengan menulis. Maka menulis ini merupakan pisau untuk mengasah dan mempublikasikan pemikiran. Terutama yang berguna untuk menegaskan identitas dan eksistensi manusia sebagai subyek yang sanggup mencipta realitas. Tentunya lewat prasasti-prasasti yang mereka bangun sendiri dalam membentuk peradaban.

*dimuat di Majalah Piramida, edisi Mei
**Esais adalah redaktur Buletin sastra Teh Hangat, Senjakala. Aktif di Forum Lingkar Pena (FLP) Ciputat dan Forum Kajian Sosial dan Keagamaaan Piramida Circle Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar