Tendang, Terjang, Hadang

Senin, 19 Juli 2010

Machiavelisme dan Politik Sastra *


Oleh; Dedik Priyanto **
“Maka kita pun menolak Machiavelisme kesusasteraan. Machiavalisme kesusasteraan menyepak cara untuk menggapai tujuan, bersikap palsu terhadap bentuk demi mempertontonkan ini. Pada hal dalam kenyataan, kesusasteraan adalah kesatuan yang langsung dialami sebagai bentuk isi,” kata Goenawan Mohammad.

Buku yang berjudul “Polemik Hadiah Magsaysay” membuat penulis terperangah. Betapa tidak, buku ini seolah membuka tabir bagi kita semua bahwa dalam dunia sastra, terdapat perebutan-perebutan makna dan kuasa, dan hal itu tentu berbau politis. Bahkan acapkali keluar dari terma sastra itu sendiri.

Maka tatkala memperbincangkan perebutan kuasa ini, penulis teringat dengan seorang filsuf asal Italy, Niccolo Machiavelli (1456-1527). Menurut beliau, politik hanya berkaitan dengan satu hal semata, yaitu memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Hal lainnya, seperti agama dan moralitas, yang selama ini dikaitkan dengan politik, sesungguhnya tidak memiliki hubungan mendasar dengan politik, kecuali bahwa agama dan moral tersebut membantu untuk mendapat dan mempertahankan politik.

Sejarah kesusasteraan kita memang berkata demikian. Coba kita kuak, dimulai dari perdebatan lama antara STA dan Pane bersaudara. Hingga perebutan relasi kuasa antara Lekra dan Manikebu. Perebutan-perebutan makna atas kekuasaan dibalik tiara sastra inilah yang sampai sekarang masih tetap hangat untuk diperbincangkan dan didiskusikan. Pun dengan perdebatan antara Utan Kayu dan Saut Situmorang dkk.

Penulis mencoba menarik benang merah dari perebutan-perebuatan makna di atas. Bahwa dalam hal intertekstualitas sastra memang tidak pernah berdiri satu kaki. Bahkan untuk melambungkannya sekalipun. Ia harus memakai makna dari Machiavelli tentang kekuasaan. Karena jika sudah berkuasa, maka ia akan memiliki kekuatan dan hegemoni untuk mengangkat nama mereka.

Contoh menarik adalah pada perdebatan buku “Magsaysay” itu. Satu sisi menghendaki bahwa penghargaan untuk Pramoedya Ananta Toer sangatlah layak. Namun sisi yang lain, menganggap bahwa penghargaan itu sangatlah tidak layak, dikarenakan perangai Pram saat menggawangi Lekra. Kala itu Pram dinilai dengan sangat pongah telah membarangus para seniman dan sastrawan lainya yang tidak sejalan dengan pola pikir orang Lekra yang mengusung sastra untuk revolusioner dalam bingkai Realisme Sosialisnya.

Benderanglah kini bagaimana alur politik dalam sastra memang sangat kentara. Karena kalau ditengok ulang, maka yang ada adalah tidak melihat dari isi sastra itu. melainkan dari faktor eksternal yang melingkupi karya itu. Pantaslah jika GM, Arief Budiman, Umar Kayam seolah acuh mengenai hal ini. Janganlah kita terbebani dengan sejarah kelam politik sastra itu. Lihatlah dari karya sastra mereka. Bukan begitu, Bukan?

* Esai ini dimuat di Buletin Sastra Teh Hangat, edisi Juni2010.
**Esais adalah mahasiswa Psikologi UIN Jakarta. bergerak di Tongkrongan Sastra SENJAKALA, FLP Ciputat dan Piramida Circle Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar